#fiksi
"Sekarang kenapa?" tanyaku. Kau masih terdiam, wajahmu basah, sengaja tidak kau hapus jejak air tersebut, membuat hatiku makin merasa bersalah.
"Aku kan udah ngalah, iya balik ke rencana awal aja, ga akan ada perubahan-perubahan lagi." jelasku, namun air kembali mengalir dari matamu, melalui jejak yang sama.
"Aku juga gatau", ucapmu dengan suara parau, suara khasmu ketika sedang atau habis menangis. Aku terdiam, memandangi wajahmu, sembari memutar otakku keras-keras.
"Maaf", ucapmu pelan. Aku hendak menyela bahwa kau tidak perlu minta maaf. Tapi kamu melanjurkan kalimatmu.
"Aku juga pengen berhenti menangis, tapi ga bisa. Nanti... kalau udah agak baikan, aku pasti cerita. Could you wait for me?" Kalimat panjang itu diucapkannya pelan-pelan, berjeda, setiap kali kamu mengambil nafas, atau menarik air yang keluar dari hidungmu. Aku mengangguk, kemudian beranjak hendak pergi, namun langkahku terhenti.
Aku berbalik, menemukan tanganmu menahan tanganku. Aku kembali duduk, mengira kau belum menyelesaikan kalimatmu. Masih memegang tanganku, kaurebahkan kepalamu di pundakku pelan. Nafasmu kini sudah sedikit lebih teratur, jejak air itu sudah samar, hampir menghilang padahal tidak kau hapus sama sekali.
"Tissue" ucapku pelan, kau menggenggam tangan kiriku lebih erat. Aku hendak menjelaskan, kalau aku tadi pergi hendak mengambil tissue, tapi lidahku akhirnya kelu. Diam, hening. Yang terdengar hanya suara nafas kami, dan sedikit detak jantungku. Tubuhku mungkin diam, tapi otakku tak berhenti berpikir, tangan kananku kaku, meski sebagian otakku memerintahkannya untuk mengelus kepalamu pelan.
"Tissue, air minum, bukan itu yang aku butuhkan sekarang," ucapmu memecah keheningan, sekaligus membuatku menurunkan kembali tangan kananku, yang sudah sedikit terangkat hendak menjalankan misinya.
"Kalau misal.. aku kaya gini lagi, kaya bom reaktif, bom sensitif, bom emosi; itu bukan salahmu. It's just me," kau menarik nafas panjang.
"Aku terbiasa menumpuk emosi yang seharusnya disalurkan keluar. Ada saat aku ingin menangis, namun aku menahannya. Kemudian waktu berlalu.. dan saat mataku sudah terlalu pernuh air, dan saat pikiranku sudah terlalu penuh, dan hatiku sudah penuh luka..."
Kau menarik nafas dalam lagi, seolah yang hendak kau ucapkan adalah rahasia yang seharusnya tidak seorangpun tahu. "Saat itu, seperti bom, yang cuma perlu menekan satu tombol untuk meledakkannya. Seperti itu juga. Cuma perlu satu alasan kecil, hal kecil, yang bisa membuatku meledak, dan menangis seperti tadi," kau melepas tanganmu dari tanganku, menarik senderan kepalamu dari bahuku, kemudian menatapku lembut.
"jadi jangan merasa bersalah. bukan salahmu, bukan karena hal kecil itu," kau mengakhiri penjelasan panjangmu dengan senyum tipis. Aku masih memandangi bola matamu yang kini terlihat makin jernih dan berkilau.
"Bisa diulangi nggak?" tanyaku. Raut wajahmu berubah, bingung.
"Mau aku tulis di blog, sayang kata-kata bagus kalau dicatet di otak", kamu tertawa kecil, meninju pelan lenganku.
The End.
"Mau aku tulis di blog, sayang kata-kata bagus kalau dicatet di otak", kamu tertawa kecil, meninju pelan lenganku.
The End.
***
PS: Sayang kalau lagi mood nulis fiksi dipaksain nulis non fiksi, tapi kalau terus bolak-balik fiksi-non fiksi, jadi ga konsisten ya? hehe.
PS: Sayang kalau lagi mood nulis fiksi dipaksain nulis non fiksi, tapi kalau terus bolak-balik fiksi-non fiksi, jadi ga konsisten ya? hehe.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya