#fiksi
Pemuda yang hatinya katanya sudah mati akhirnya datang ke gedung ini. Perlahan ia menyerahkan selembar kertas berwarna putih bergaris merah, sepertinya sobekan dari salah satu buku tulisnya. Ia meletakkan kertas itu di mejaku, kemudian berkata, "Mohon dibaca setelah saya pergi". Kalimat pendek itu.. lalu ia berbalik dan meninggalkan gedung ini.
Aku perhatikan kertas itu, terlipat menjadi dua sehingga aku tidak bisa melihat isinya, ujung-ujung sedikit keriput, mungkin ia memegangnya dan menekan ujungnya agak keras saat berjalan menuju gedung ini. Perlahan aku buka lipatannya dan tertulis di sana beberapa paragraf dengan tinta biru, aku membaca suratnya, runut dari tanggal di ujung kanan atas sampai akhir titiknya.
Kalau boleh aku bersikeras, aku ingin ia pergi saja. Karena jujur aku sudah cukup bersyukur dengan progres diriku sekarang. Rasanya aku baru pantas lulus SD, aku tidak siap jika harus pada saat ini juga aku menempuh ujian masuk SMP. Ingin rasanya istirahat setahun dulu, karena lulus SD saja aku seperti berdarah-darah. Aku tahu aku lebay, ini super duper hiperbol. Masa ikut ujian masuk SMP aja ga mau? Tinggal jalanin, kan yang nentuin kamu masuk atau ga bukan kamu. Jalanin aja... kalau memang ga bisa masuk SMP, kamu baru boleh istirahat satu tahun.
Tapi.... lembar soal di hadapanku, aku tidak mau sekedar berpikir dan mencari jawabannya. Bahkan aku tidak mau sekedar ngasal menghitamkan lembar jawaban. Aku tidak mau itu semua... aku ingin pergi saja, tanpa membuka lembar soal yang masih tertutup, aku ingin pergi saja dan membiarkan lembar jawaban itu kosong. Aku... jahat bukan?? Sesungguhnya aku juga benci melihat diriku yang seperti ini. Aku benci mengetahui diriku yang begitu jahat. Ingin rasanya aku menghukumnya, meski aku tidak tahu bagaimana caranya. Ingin aku... merubahnya menjadi lebih baik, meski aku tidak percaya ia bisa berubah. Mungkin aku percaya, tapi tidak bisa secepat ini, tidak bisa dalam tiga empat bulan ini.
***
Tulisannya tidak serapi biasanya, terlihat dari beberapa bagian yang mendadak keriting, mungkin ia beberapa kali menangis sembari menulis.
Aku mengambil selembar kertas A4 kosong, kulipat jadi dua, lalu di sana kutulis satu, dua sampai tujuh kalimat. Ku foto kertas itu, kemudian kukirim hasilnya ke nomor pemuda yang sudah tidak berada di gedung ini sekarang.
"Kamu bukan tidak mau mengerjakan soal masuk SMP, kamu hanya takut. Kamu terlalu takut akan hasilnya, sehingga kamu memilih tidak melakukan apa-apa. Ingatlah... kamu tidak sedang mengusahakan untuk diterima di SMP tersebut. Kamu sedang mengusahakan ridho orang tua melalui usaha keras ujian tersebut. Fokuslah ke tugas kamu, ikuti proses sebaik-baiknya. Baca soalnya, pikirkan jawaban mana yang benar, selesaikan ujiannya. Hasilnya, bukan urusan kamu."
***
PS: Epilog hehe, barusan buat desain di canva tentang apa yang kemungkinan si pemuda tersebut tulis setelah membaca balasan suratnya? Hehe.. Trus jadi dapet inisial tokoh si pemuda: fr. Tinggal cari nama yang bagus, kalau misal mau dilanjutin kisahnya hehe.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya