Mengapa?
Isabella Kirei
November 29, 2017
0 Comments
Bismillah.
#hikmah
Kata itu kini sudah tidak terasa terlalu getir. Pembiasaan memang begitu ya? Sesuatu yang tadinya pahit, membuat lidah tak nyaman, perlahan berubah. Seperti sayur pare, yang tadinya sama sekali saya hindari, tidak pernah saya memilih membelinya, kalaupun ada di rumah tidak pernah saya makan. Namun satu kali di kasih Ibu kos, habis juga dimakan, meski setiap suapnya menimbulkan ekspresi wajah unik karena sensasi getirnya. Kemudian di lain waktu, lagi dan lagi. Kini, memang getir itu masih ada. Tapi tidak sehiperbol saat dulu pertama kali merasakannya. Jadi ingat, betapa lebay diriku, sampai menulis dua post (pertanyaan getir 1, dan getir 2).
***
Tapi jujur... rasanya masih setengah ga percaya. Bagaimana yang tadinya getir, tiba-tiba seolah sudah tidak segetir dulu. Apa komposisi getirnya menurun? Atau Allah yang pelan-pelan menghapus rasa getir dari kata tanya tersebut?
Rasanya aneh, heran juga.. Aku masih ingat betapa.. beberapa hari yang lalu, pekan lalu mungkin aku mendapatkan kata tersebut. Saat itu reaksinya masih sama, aku yang emosional, aku yang pengen nyolot, "Why do I need to explain to someone that they won't even try to understand me?". Ya, aku masih ingat perasaan itu, sensi banget, meski akhirnya aku jawab dengan cara mencoba menenangkan diri dan meyakinkan diri. Maybe they really want to know, not just a mere curiosity. Despite, I can't judge them, for not wanting to understand me. Belajar belajar khusnudzon.
Ya, rasanya aneh dan heran. Bagaimana pagi ini, aku bisa menjawab kata tersebut tanpa persiapan apa-apa. Mengalir saja, meski pasti di sela-sela mikir juga, bagaimana merangkai kata untuk menjelaskan hal tersebut. Too many words but sometimes words can't explain what my heart want to say.
Honestly.. I doubt her, when she says, "tapi ana pernah kenal teh bella jadi merasa kaya adik sendiri..." Ia merasa pernah mengenalku, aku pribadi sebaliknya, merasa tidak banyak mengenal teteh tersebut, dan merasa beliau tidak mengenalku. Pagar-pagar yang aku bangun itu, ketidaksukaanku saat seseorang mengira 'mengenalku'. Maybe it's an effect of my old scar.
Tapi saat percakapan dengannya mengalir begitu saja, membaca responnya, satu per satu. Tak panjang padahal. Aku jadi sedikit belajar lagi, belajar berbaik sangka. Maybe she really cares about me, maybe she really think of me as her little sister.
***
Maaf jadi banyak curhat. Intinya, hikmahnya. Ternyata rasa getir itu bisa berkurang, mungkin karena kebiasaan, mungkin karena Allah mengangkat perasaan tidak nyaman itu, mungkin karena kita sudah berusaha berdamai dengannya, dan banyak alasan lainnya.
Apapun itu.. pada akhirnya akan berlalu. Seperti rasa getir yang perlahan menghilang. Rasa sakit kita, rasa lelah kita, rasa bosan kita, rasa sedih kita.. semua itu akan berlalu, mungkin perlahan, mungkin segera, mungkin di waktu yang tidak kita tahu kapan. Tapi mereka bukan perasaan permanen.
Untuk siapapun, yang sedang mencicipi getirnya sebuah kata, atau mungkin getirnya kehidupan dunia. Semoga kalian bisa bertahan, dengan terus yakin kepada takdir Allah, berbaik sangka kepadaNya,. Terus berjuang, mendekat kepadaNya, bangkit lagi dan lagi, melompat lagi meski dijatuhkan.
Saat pikiran buruk bermunculan, baik itu dari dalam atau efek dari luar, katakanlah.. Kalla... inna ma'iya rabbi sayahdiin.
Allahua'lam.
Allahua'lam.