Kambing Hitam
Isabella Kirei
July 31, 2020
0 Comments
Bismillah.
No I'm not going to talk about qurban. Kambing hitam di sini maknanya konotatif. Dan tulisan ini adalah tulisan tentang diri. Aku tahu, tulisan semacam ini harusnya dihindari. Yang benci aku ga suka bacanya. Yang cinta juga ga butuh. Tapi... tapi aku butuh. Untuk memberi ruang, memberi jarak, memberi sedikit space agar bisa bernafas lebih lega. Aku butuh, untuk mengekspresikan pikiran dan perasaat yang berkelit kelindan dan ruwet.
Intinya, baca blog lain aja hehe. Atau baca tulisan lain di blog ini. Sekarang aku sedang ingin beregois ria.
***
Kambing hitamku, kalau lagi super sensitif, sehingga sebentar-sebentar mata basah, dan air mata jatuh. Padahal ga sedih, ga sakit, ga luka, ga ada apa-apa. Hanya hal-hal kecil. Seolah rasa kesedihan meliputi hingga mudah sekali untuk menangis.
1. Laper
Itu kambing hitam pertama. Biasanya kalau aku laper memang sensitif. "Kesenggol dikit" langsung marah. Dan marahku biasanya bakal ngajak sedih dan tangis untuk kumpul.
Biasanya aku makan, untuk menenangkan diri dan mengisi perut yang laper. Proses makan itu biasanya sedikit banyak membantuku menetralkan perasaan yang tadinya super sensitif. Jadi ga jadi nangis. Ya masa makan sambil nangis, drama banget wkwkwk. Dengan makan, fokusnya berganti, gigi bergerak mencerna makanan, otak dan hatiku juga ikutan bergerak mencerna perasaan agar tidak dikeluarkan dalam bentuk yang buruk rupa. Kan harusnya amarah ditelan saja, ga pake dikunyah, sehingga tidak tampak.
2. PMS
Kambing hitam kedua. Kalau di luar sana, banyak yang menjadikan PMS supaya memaklumi kondisi hati perempuan yang sensi. Aku justru sebaliknya. Bukan orang lain, tapi aku sendiri yang sering menjadikan PMS sebagai kambing hitam. Biasanya kalau makai kambing hitam PMS, aku jadi bisa memaklumi diri sendiri yang supersensi. Beda sama laper yang dengan makan ga jadi mewek. Kalau ini justru jadi jalan, aku membolehkan diriku nangis panjang di kamar tanpa tahu sebabnya apa. Gapapa gatahu sebabnya, toh ga ada yang liat aku nangis, jadi ga perlu jawab pertanyaan siapa-siapa. Gak akan ada yang tanya kenapa.
***
Jadi, itu dua kambing hitam, dua-duanya gak bersalah, tapi sering dijadikan tersangka dan tertuduh. Ada hal lain yang sebenarnya menjadi sebab aku supersensitif atau membuat aku mudah menangis. Ada hal lain. Hanya saja aku tidak mau bercerita, atau tidak mau mengakui. So I make it as simple as that. Maybe I am hungry, or I am on the state of PMS.
Tapi kan ya... ga boleh gitu. Kasihan mereka berdua, dijadiin kambing hitam mulu. Aku perlu belajar jujur sama perasaanku, perlu teliti mencari penyebabnya. Biar bisa diurai kesedihannya, kemarahannya, kesensitifannya. Jadilah aku menulis ini. Dalam rangka mengakui bahwa aku sering menjadikan keduanya kambing hitam. Sekaligus mencoba menerka, sebenarnya apa sebab aslinya.. siapa tersangka yang bersalah. Atau tidak ada yang bersalah?
***
Jika aku tidak sedang lapar, juga tidak sedang PMS, tapi aku supersensitif, sebentar marah, sebentar nangis.
Saat itu... kalimat canda tidak membuatku tersenyum, justru melahirkan mata yang berkaca-kaca. Bukan berkaca-kaca karena ketawa ya. Kan ada tuh ketawa yang sampai bikin nangis. Ini beneran berkaca-kaca karena kalimat canda terasa menyedihkan, atau menyakitkan.
Saat itu... sesuatu yang harusnya ga dimasukin hati jadi dimasukin ke hati. Aku tahu betul tidak ada maksud orang lain untuk menyakiti, melukai, membuatku marah atau membuatku sedih. Tapi karena supersensi bawaannya pengen marah, dan nangis. Seperti teguran singkat karena keningku berkerut di depan laptop. Why does it felt hurt? Rasanya seperti ingin menjawab, "masa gini aja ga boleh? Aku juga manusia, yang kalau pusing dan banyak mikir keningnya berkerut". Tentu aja jawaban itu tidak kuucapkan. Karena aku tahu betul bukan itu poinnya. Aku saja yang sedang supersensitif sehingga sedekit sentuhan membuatku ingin meledak. Ibarat ranjau, yang kalau keinjak bisa meledak.
Jika aku tidak sedang lapar, juga tidak sedang PMS, tapi aku supersensitif, sebentar marah, sebentar nangis. Sebenarnya saat itu aku,
1. Lagi banyak pikiran, dan semuanya ditekan tanpa dikeluarkan sedikitpun
2. Ada masalah, tapi aku mengabaikan/lari, dan bukannya menghadapinya
3. Ada yang melukaiku, dan aku tidak mengekspresikan rasa sakitnya
Sementara baru tiga itu yang aku anggap sebagai tersangka. Ngeliat dari pola sih.
Yang pertama, aku inget pas di Bandung. Pernah ada kurun waktu tidak ada hari tanpa menangis. Karena poin 1 dan 2. Aku banyak pikiran, tapi semua aku tekan dan tidak cerita ke siapapun, nulis diary pun tidak, doa pun tidak. Allahummaghfirli TT Trus poin kedua. Tidak menghadapi masalah. Namanya orang lari, pasti ga bisa netral. Lelah, cape, ngos-ngosan, jadi saat kondisi itu, apapun bisa menjadi pemicu emosi, entah itu emosi amarah, atau sedih. Yang jelas jadi cengeng. Gatau tempat deh. Mau di kamar, di jalan raya, sendiri maupun ada banyak orang, tumpah aja itu air mata. Mana kalau udah "hujan", susah berhentinya.
Yang terakhir, aku baru nyadarin polanya pas udah balik ke Purwokerto lagi. Sebenernya ini mirip sama poin pertama sih. Bedanya, kalau poin 1 banyak pikiran. Poin 2 itu banyak perasaan negatif. Luka yang aku maksud disini kaya sedih, kecewa, sebel, dll. Dan perasaan tersebut bukannya diekspresikan, malah ditekan. Jadi deh, setelah numpuk-numpuk ga diekspresikan, ada batasnya kan, habis itu aku jadi masuk fase supersensitif. Kalau momennya pas di tanggal-tanggal PMS, jadilah PMS kambing hitamnya.
Bedanya poin 3 sama 1. Kalau 1 itu solusinya ya cerita, atau nulis pikiran. Kalau poin 3 ga bisa cuma cerita dan nulis, harus bener-bener diekspresikan. Ya, tangis yang disimpan sebulan yang lalu itu harus dikeluarin. Sebel, atau marah juga. Biasanya keluar lewat olahraga atau kerja. Olahraga itu cem tinju, eh, wkwkwk. Maksudnya sepak bola, jadi ada yang bisa ditendang. Atau voli, mukul bola. Atau latihan beladiri, mukul dan nendang angin. Kerja itu, seperti beres-beres, nguleg sambel, dll. Intinya energinya harus tersalur.
Poin 2, solusinya ya berhenti lari dan menghadapi masalah. Kalau ada keputusan yang masih gantung, segera diputuskan. Kalau ada masalah dengan orang lain tapi kita menghindar terus, ya solusinya ketemu orang tersebut. Butuh paksaan emang awalnya. Kita yang harus memaksakan diri. Nanti kalau udah berhadapan dengan masalah, kita baru tahu, kalau ternyata pilihan untuk lari itu begitu bodoh, dan banyak meninggalkan rasa sesal.
***
Udah sih mau nulis itu aja.
Oh ya, semoga sih ga ada ya. Tapi kalau ada yang baca sampai sini, ini aku kasih bonus quotes, biar tulisan diatas dilupakan saja. Ingat-ingat yang ini aja.
Tentang apa yang kita rayakan di lebaran idul adha ini, kutipannya bahasa inggris tapi hehe.
"So as you go through all of the trials of Ibrahim 'alaihi salam, they reflect in my life and in yours, in one way or another. But what are we celebrating? What we're celebrating is, that Allah gave these most impossible tests and never let him go. He (Allah) saw through all of those tests and helped him (Ibrahim) succeed in all of those tests. Which reminds you and me, that Allah will never ever let us go, no matter what we're going through. That's something to be happy about. That's something to celebrate." - Nouman Ali Khan
Semangaat~ Hari ini, mari bergembira, merayakan, bahwa Allah tidak akan pernah, tidak akan pernah meninggalkan kita, apapun masalah, apapun kesulitan, apapun ujian yang sedang kita jalani.
Happy Eid Mubarak, for all^^