Lokalisasi Emosi
Isabella Kirei
January 30, 2020
0 Comments
Bismillah.
Terakhir, untukku... it's okay to cry.
***
The End.
Perempuan itu... seringnya tiba-tiba saja sedih, ingin marah, ingin nangis. Emosinya naik, entah karena sebab apa. Kadang jadi bingung sendiri. Aku pun begitu. Seperti sore ini saat aku memutuskan untuk menulis ini.
Tiba-tiba merasa sedih. Tiba-tiba merasa emosi. Ingin marah tapi tahu tidak pada tempatnya. Ingin menangis, tapi malu.. nanti ditanya-tanya. Ingin bicara, tapi lidahku tertahan. Entah tertahan barisan gigi atau dua bibir. Yang jelas tidak ada kata yang keluar lewat nada. Tapi emosi yang ditekan itu tidak baik kan? Maka aku memutuskan menulis ini. Kemudian membuka telinga lebih lebar, pada suara adzan magrib yang bersautan, juga derai air hujan yang dari siang tadi menghias Bogor.
Satu dua titik air lain jatuh. Sebentar saja, tidak ada bekas. Segelas teh panas yang kemanisan. Aku kemudian bertanya pada diri, apakah semuanya, selesai? Apa perasaan sedih yang tadi hadir tanpa undangan, dan emosi yang naik dan mendorongku untuk menuliskan ini, selesai?
Lalu aku teringat sebuah frase dari sebuah kelas, "lokalisasi emosi". Aku lupa kapan, dan siapa. Tapi intinya, lokalisasi emosi adalah tentang bagaimana sikap kita saat emosi melambung dan minta untuk dilampiaskan. Katanya,... kata sang guru, baiknya kita lokalisasi dulu emosi kita. Kita petakan, sebenarnya kita sedih karena apa? Kenapa kita ingin marah? Apa penyebabnya? Keadaan tidak ideal apa yang membuat emosi tersebut lahir. Dan bagaimana idealnya. Dari situ, kita jadi tidak asal melampiaskan emosi.
Manusia itu bukan robot, ia memiliki emosi yang naik turun. Emosi yang harus disalurkan dan bukannya dilemparkan atau dikubur. Manusia yang bijak tidak sembarangan melampiaskan emosinya, pun tidak menguburnya dan membiarkannya menjadi penyakit. Manusia yang bijak mengambil jeda saat emosi naik dan 'hendak' menguasainya. Kemudian jeda tersebut, ia gunakan untuk melokalisasinya. Setelah itu, ia menyalurkannya. Ia tidak diam beribu bahasa. Jika sedih ia menangis. Tapi ia tahu alasan ia menangis. Jika marah pada orang lain, ia tidak membentak, tapi ia mampu mengkomunikasikan kemarahannya. Bahwa ia tidak suka jika seperti ini, bahwa ia merasa tidak rela diperlakukan seperti itu.
***
Perempuan yang sedari tadi duduk di depan laptopnya beranjak dengan segelas teh. Ia berjalan ke luar kamar menuju meja makan untuk mengisi gelasnya dengan tambahan air panas. Adik perempuannya yang sedang makan brownies bertanya,
"Mau makan nasi terlebih dulu, atau magrib dulu?"
Hari itu mereka puasa membayar hutang Ramadhan yang belum lunas. Sang kakak tidak menjawab, ia berlalu menuju kamar dan duduk kembali di depan laptopnya. Menyelesaikan tulisannya dengan paragraf penutup.
***
Perempuan yang sedari tadi duduk di depan laptopnya beranjak dengan segelas teh. Ia berjalan ke luar kamar menuju meja makan untuk mengisi gelasnya dengan tambahan air panas. Adik perempuannya yang sedang makan brownies bertanya,
"Mau makan nasi terlebih dulu, atau magrib dulu?"
Hari itu mereka puasa membayar hutang Ramadhan yang belum lunas. Sang kakak tidak menjawab, ia berlalu menuju kamar dan duduk kembali di depan laptopnya. Menyelesaikan tulisannya dengan paragraf penutup.
***
Dan kesedihan ini, amarah yang menyesak ini, dan emosi yang mengetuk lapisan kaca di mataku... aku harus melokaliasasikannya. Agar kehadirannya tidak sekedar dieja dalam kata, atau dibenamkan dalam tangis, agar ada tindak lanjut yang bisa dilakukan. Jika yang membuat kita emosi, sedih dan marah adalah sebuah 'masalah', maka ia sebenarnya sedang menanti kita untuk diselesaikan.
Terakhir, untukku... it's okay to cry.
***
The End.