But That's My Line...
Bismillah.
"Doain ya, Mba" ucapnya. Aku terdiam, menunggu lanjutan kalimatnya. Aku kira, ia sedang dalam proses ta'aruf, atau butuh doa spesifik apa, tapi ternyata...
"Aku lagi futur,"
Aku tersenyum tipis, getir. Ada suara kecil yang tidak keluar di lisan tapi menggema di hati. 'But that's my line.. I should be the one asking you to pray for me. I am still, after almost two months,...'
f u t u r
***
Jika aku menuliskan kata itu, kemudian memisahkan tiap hurufnya dengan spasi, aku tidak bisa tidak berpikir tentang kata lain di bahasa inggris, future, beda pelafalan memang.
Ada yang tidak familiar dengan diksi 'futur'? Aku.. aku dulu juga tidak tahu kata apa itu. Aku lupa persisnya kapan pertama kali aku mengenal kata itu, dan bagaimana kata itu kini sering menghias hariku. Seperti saat aku kuliah dulu, masa-masa aku aktif di organisasi islam, dan dikelilingi dengan banyak orang yang menggunakan kosakata bahasa arab. Futur, iqab, riyadhah, afwan, dll. Oh ya, tapi kalau di kampus dulu, tidak ada panggilan "akhi, ukhti", kalau dua kata itu, aku justru banyak memakainya saat di Rohis SMA. Saat di kampus, dua kata itu begitu kikuk untuk digunakan, kami hanya menggunakan sapaan khas daerah, Teh dan Kang. *ups, kenapa jadi malah nostalgia.
Balik ke kata futur. Futur, berasal dari bahasa Arab. Akar katanya fatara - yafturu - futuran, artinya menjadi lemah atau menjadi lunak. [1]
Adapun maknanya ada dua [2]:
1. Terputus setelah bersambung, terdiam setelah bergerak terus
2. Malas, lamban atau kendur setelah rajin bekerja
Adapun secara istilah, futur biasanya digunakan untuk menggambarkan "penyakit" yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da'i, dan penuntut ilmu [3]. Termasuk, orang-orang yang baru hijrah, orang-orang yang sedang berjuang dan berjalan untuk mendekat pada Allah.
Nah, kalau udah kenal sama 'futur', sekarang mari cek bareng-bareng, apakah kita sedang terjangkiti penyakit tersebut? Jika iya, lalu bagaimana?
Kalau aku pribadi, masih mencari solusi. Salah satunya dengan menulis ini. Berharap dengan menulis, aku bisa membaca hal-hal terkait futur.
Terakhir tentang futur, sebuah kutipan dari Ibnul Qayyim dalam buku Madarijus Salikin, tapi ini aku gak nyalin dari bukunya, nemu di salah satu web yang kubaca terkait futur.
Ibnul Qayyîm rahimahullah berkata, “Saat-saat futur bagi para salikin (orang-orang yang meniti jalan menuju Allah) adalah hal yang tak dapat terhindarkan. Barangsiapa yang futûrnya membawa ke arah murâqabah (merasa diawasi oleh Allah) dan senantiasa berlaku benar, tidak sampai mengeluarkannya dari ibadah-ibadah fardhu, dan tidak pula memasukkannya dalam perkara-perkara yang diharamkan, maka diharapkan ia akan kembali dalam kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.” (Kitab Madrijus Salikin).
***
Sekian terkait futur. Lanjut ke sesi curhat. #eh
Ada yang masih ingat pembuka tulisan ini? Kejadian itu nyata kualami, di sebuah sore jingga, di waktu spesial, saat doa-doa diijabah. Ada yang mau nebak, kira-kira waktu apa?
Sebelum kejadian itu. Aku duduk disampingnya, aku teringat bagaimana tubuhnya miring ke arahku, untuk mendengar lebih jelas. Kemudian ia mengangguk seolah merasa relate, saat aku menjelaskan bahwa yang sulit itu, kalau badan sedang tidak fit, energi habis tidak tidak punya waktu untuk istirahat yang cukup. Saat itu, aku cuma berpikir, bahwa ia sedang sibuk-sibuknya, lelah dengan pekerjaannya, sebagai apoteker di sebuah rumah sakit swasta, di kota lain yang berjarak sekitar 1 jam dari Purwokerto. Saat itu, aku tidak tahu, kalau yang merasa lemah dan lelah itu, bukan hanya fisiknya, tapi juga spiritualnya.
Sejujurnya aku begitu malu, saat ia memintaku mendoakannya. Ingin rasanya balik bersuara, harusnya itu aku yang bilang. But that's my line, itu harusnya dialogku. Harusnya aku yang meminta ia mendoakanku. Karena kalau mau jujur, aku pun sedang tidak baik-baik saja. Aku, sudah terlalu lama bersembunyi dibalik kata futur, terlalu nyaman dengan hal-hal mubah, beberapa kali terpeleset, kemudian merasakan akibatnya saat tangan begitu berat membuka Al Quran. Saat lisan, begitu kaku, mengeja kalam-Nya.
Tapi curhat di sini, mengejanya, tidak akan mengubah apapun bukan? Hanya sebuah keluhan, jika aku tetap diam dan terputus. Jika aku tetap lemah dan lunak. Jadi mari berdoa, agar tulisan ini tidak berhenti di tulisan. Semoga Allah mengobati setiap penyakit dalam hati kita. Semoga Allah membantu kita keluar dari futur ini. Semoga menjadi lebih baik, lagi dan lagi. Semoga dimudahkan untuk bisa kembali pada-Nya dalam keadaan terbaik, berharap mati syahid, meski untuk bisa syahid, ada perjuangan yang harus dilakukan. Bukan sekedar angan kosong, atau omongan tanpa makna. Semoga diejawantahkan dalam amal, yang tidak mengapa sedikit asalkan istiqomah. Rabbi habli hukman wa alhiqni bishshalihin. Aamiin.
Wallahua'lam bishowab.
***
Keterangan:
[2] https://dillatheexplorer.com/2014/03/21/futur/
[3] https://muslimah.or.id/9485-penyakit-itu-bernama-futur.html
[4]