Dilarang Berjanji dan Memutuskan
Isabella Kirei
July 31, 2012
0 Comments
Seperti rencana awal, aku menjauh dan mundur teratur. Sejenak menjaga jarak dari mereka dan aroma rupa mereka.
***
Jangan memutuskan saat sedang marah, dan jangan berjanji saat sedang senang. Pernah mendengar kalimat tersebut? Nasihat bijak tersebut mungkin sekilas terdengar tidak masuk akal. Kenapa tidak? Membuat keputusan saat marah? Kenapa tidak? Berjanji saat senang?
keputusan dan amarah
Saat sedang marah, otomatis kepala dan hati panas. Tak bisa berpikir jernih. Yang dikedepankan tak lebih hanya emosi. Maka keputusan yang diambil pada waktu itu (baca: saat sedang marah), biasanya keputusan yang tidak tepat. Terlampau tergesa, hingga seringkali menimbulkan sesal di akhir.
janji dan gembira
Saat sedang gembira, dunia rasanya lebih indah. Segala hal terasa menyenangkan hati, fokus diri hanya pada rasa yang melambung di hati. Maka janji yang di ucapkan pada waktu itu (baca: saat sedang gembira), biasanya hanya sekedar imbas dari rasa gembira yang meluap. Sekedar berjanji, namun tak begitu memperdulikan isi dari janji tersebut. Terlampau tergesa mengiyakan janji, hingga seringkali menimbulkan sesal di akhir.
janji, keputusan dan perasaan kita
Perasaan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi janji dan keputusan yang kita ucapkan. Terutama bagi seorang perempuan, perasaan seringkali lebih mendominasi ketimbang logika-logika. Khususnya lagi bagi diri, yang kata seseorang 'too sensitive', terutama diri yang 'too serious facing everything'.
Bukan hal yang salah, menggunakan perasaan dalam membuat janji atau keputusan. Boleh saja kok^^ tapi untuk dua situasi ini, jika bisa hindarilah! Daripada menyesal di kemudian hari, dari pada mengecewakan ia yang diputusi dan dijanjii (haha -.- rusak tuh tata kata dan kalimat).
Jika memang keputusan harus diambil padahal hati sedang diserbu amarah. Jika memang janji harus dibuat padahal hati sedang menari gembira. Ambilah jarak dan waktu, tak perlu terlalu lebar dan lama. Sejenak saja, sejengkal saja. Dan netralkan dulu perasaan di dada. Semoga keputusan dan janji yang dibuat, bukan dominasi dari perasaan amarah atau gembira.
***
Keputusan ini memang tercipta saat jiwa sedang diliputi amarah. Tapi keputusan tetaplah keputusan. Sejauh ini tak ada sesal, menjauh dan mundur teratur membuatku merasa nyaman.
Perasaan nyaman ini tak seharusnya dijadikan alasan untuk menuli, dari nasihat bijak yang sudah kuakui kebenarannya : "don't decide when you're angry, don't promise when you're happy"
Wallahu'alam