Bismillah...
Ada yang mendesak di sana. Ya, ada yang mendesak di sana, menyesak dadanya, mencekat tenggorokannya. Dipandangnya cermin di pintu lemarinya. Refleksi dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki berada satu meter di depannya. Ia menatap lekat refleksi diri yang berdiri setengah meter dari belakang cermin.
"tidak seharusnya kau berbohong," ucapnya. entah pada siapa.
"ya, aku berbicara padamu wahai cermin.. kau...." ucapnya. masih dengan nada yang sama. kemudian ia tercekat. Pertahanan kelopak matanya berhasil ditembus beberapa tetes air mata yang menyerbu untuk segera jatuh dan membasahi pipi. Ia kini duduk terjatuh, seolah puluhan beban tergayut di atas bahunya.
***
Cermin itu... hanya diam menanggapi pertanyaan perempuan muda yang sekarang terduduk menangis dihadapannya. Ia tahu, tidak seharusnya ia melawan hukum alam. Tidak seharusnya ia menampilkan refleksi yang berbeda dari apa yang ada di hadapannya. Tapi kali itu, ia sungguh sudah sangat geram melihat sikap perempuan muda. Tapi kali itu, yang ia tahu.. ia harus melakukan sesuatu agar perempuan muda itu tahu tentang kesalahan sikapnya.
***
Tapi kau tahu?
Setiap hari. Ya. Hampir setiap hari perempuan muda itu menghampiri sang cermin. Jika tadi pagi hari, maka kali ini.. sore hari. Jadi terhitunglah sehari dua kali ia menghampiri sang cermin. Tapi tahukah kau? Setiap sore, sang cermin selalu mendapatinya dalam keadaan kotor dan acak-acakan. Noda tanah, tinta.. atau noda lain acap kali menghias pakaiannya, melumuri tangannya, membekas di wajahnya. Masih sama seperti kebiasaan di pagi hari. Ia bercerita pada refleksinya tentang hari... dan alasan mengapa tinta tertumpah, atau lumpur terinjak, dan luka... yang tercipta. Ya, setiap sore.. ia bercerita seperti itu pada refleksinya. Mungkin maksudnya, ingin beralibi? Agar kesalahannya dimaafkan oleh diri?
Setiap hari berulang. Bercerita pada refleksinya tentang ia.. yang ingin selalu bersih dan rapi. Bercerita pada refleksinya tentang ia... yang tak ingin sedikit noda.. mengotori tubuh dan pakaiannya. Ya, setiap pagi.. ia bercerita seperti itu pada refleksinya. Mungkin maksudnya, ingin meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa apa yang ia perbuat seharusnya bisa dimaklumi oleh si refleksi. Bahwa ia, yang mengaku-aku cinta kebersihan dan kerapihan. Ternyata tak bisa pulang dalam keadaan bersih dan rapi.
***
Perempuan muda itu, masih terduduk menangis. Satu meter dihadapannya, terduduk juga refleksinya. Ia duduk dengan posisi sama persis. Namun tak ada matanya tak sesembab mata perempuan muda itu. Ia memandangi tangannya yang penuh bekas lumpur yang mengering. Kemudian perlahan, melihat tangan refleksinya. Bersih.
#fiksiku
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya