Follow Me

Saturday, May 19, 2018

Capital City Life

Bismillah.

#hikmah #banyakcurhat

Sebenarnya ragu ingin menulis ini, takut jadi banyak curhat dan sedikit mengambil hikmah. Tapi topik ini sudah saya rencanakan untuk menuliskannya. Karena bagi saya, itu bukan perjalanan biasa. Ada banyak sajian pemandangan, pengalaman, dari Allah saat aku dan adikku, safar ke Ibu Kota dan Bekasi, 4-6 Mei lalu.

***

Kesibukan dan Kehidupan Keras di Ibukota

Kami sampai di stasiun Jatinegara, Jumat sore(4/5). Bergantian jamak dzuhur-ashar. Saat adikku shalat, aku duduk di dekat tempat charger hp, sekelompok anak SMA berkumpul, laki-laki semua. Aku berusaha cuek, duduk di lantai, hp di cash, buka buku, buka bekal makanan. Mereka ngobrol tentang tugas, ada yang buka laptop, aku ga terlalu fokus dengerin sih, tapi beberapa bercakap tentang pembagian kelompok tugas A, atau tentang commuter yang hendak mereka naiki.

Kehidupan Memang Keras, Namun Bukan Berarti Orang-orangnya Juga Keras

Di waktu berbeda, sabtu siang (5/5), untuk menuju MAJ Senayan, kami diarahkan saudara sepupu untuk naik komuter, dikasih tahu sekilas, beli tiket, yang one trip, trus nanti beberapa kali pindah kereta, pindah jalur. Aku cuma bawa tas kecil, adikku ga bawa tas. Kami baru pernah merasakan sensasi naik commuter line. Kereta penuh sesak, ada yang berdiri, ada yang duduk terkantuk, ada yang ga dapet pegangan, dll. Aku dan adikku cuma orang yang sesekali pakai saja. Baru sekali, aku bertanya-tanya, bagaimana dengan mereka yang setiap hari rutinitas transportasinya naik commuter?

Di pintu komuter, di stasiun selalu ada pengingat, agar berhati-hati atas ruang jeda antara kereta dengan stasiun, agar tidak jatuh. Aku lupa di Stasiun Manggarai atau Stasiun Tanah Abang, ada seorang ibu, membawa ibunya (nenek) dan dua orang anak usia SD. Saat turun, penumpang lain bersedia membantu.

Atau saat ada yang turun, dan ia membawa barang dagangan yang berukuran besar, seseorang rela bantu juga.

Masih hari yang sama... ba'da acara di MAJ Senayan. Kami duduk lama di depan sebuah gedung. Menunggu malam makin larut, mengobrol tentang kisah temannya adikku, kerja di Jakarta, gaji besar, namun.. ya gitu.. berangkat habis shubuh, pulang jam 12 malam. Aku memandangi lampu di gedung pencakar yang seolah berkerlip. Mengobservasi satu persatu karyawan gedung yang sudah tutup jam 10 untuk orang umum. Ada yang langsung pulang, naik trans, ada yang naik gojek, ada yang duduk sejajar dengan kami, menunggu jemputan. Malam itu memang malem minggu, jalanan masih terlihat ramai, kami sibuk menunggu. Menunggu hp, yang dititip charger di ruang kecil, tempat seorang petugas parkir gedung tersebut.

Tidak Semua Punya Tempat Tidur Beratap


Sudah berganti hari karena sudah lewat jam 12. Kami di depan Masjid Istiqlal, menanti, lagi. Kali ini menanti malam mendekati waktu fajar. Allah seolah ingin aku terjaga malam itu. Seolah aku diminta untuk menyaksikan suasana malam di trotoar depan Masjid Istiqlal. Penjual kaki lima, petugas yang menggarisi aspal dengan cat putih. Juga orang-orang yang tidur di jalanan.

[1]

Tak jauh dari sana, ada banyak anak muda yang berkumpul di spot wisata, berfoto-foto. Sekali lagi, hari itu memang malam ahad. Miris ga sih, betapa dekat, tapi kaya beda dunia. Beda gaya hidup, yang satu sengaja keluar rumah untuk 'senang-senang', sedangkan yang lain diluar, karena tidak memiliki rumah, atau supaya bisa bayar kontrakan rumah. 

Terjaga lebih lama membuatku banyak berpikir, teringat tulisan ini Teh Faiza yang saat itu belum lama kubaca, teringat kita, manusia yang hanya seorang musafir, di dunia bukan untuk tinggal. Teringat kisah unik, saat musafir datang ke rumah seseorang dan tidak ada perabotan di dalamnya, bukan tidak mampu membeli, tujuannya untuk mengingatkan, kita ga aka lama-lama di sini.

[2]

***

Ingin hati menulis juga, tentang silaturahim yang terjalin saat kami ke jakarta. Jadi kaya kumpul keluarga hehe. Tapi kayanya itu fokusnya jadi ke curhat. Jadi skip aja.

Apa lagi ya? Kemarin-kemarin rasanya banyak yang ingin ditulis. Apa karena sudah lama? Jadi banyak yang lupa?

Oh iya, tentang tempat dengan padang hijau luas, yang tempat shalatnya hanya muat sekitar 10 orang. Aku saat itu hadir, tanpa sengaja mendengar percakapan panitia untuk pengkondisian shalat. Alhamdulillah ada space yang bisa diberi karpet dan jadi tempat shalat. Ada ruangan depan dapur juga, yang bisa jadi tempat shalat. 

Miris sih memang. Apalagi setelah aku dan adikku jalan-jalan, baru pernah ke tempat golf hehe. Rumput hijau, luas, masih kelihatan gedung-gedung tinggi sih. Trus ke Ladies room, ada mushola kecil, kamar mandi dan wc-nya mah banyak, modern, bersih, mewah.

***

Oh ya, tentang tempat makan. Jadi karena adikku ga dapat seat untuk acara di MAJ, dan ga dapet jatah coffe break, dan kami belum makan dari siang, usai acara aku ga berlama-lama di MAJ. Khawatir, dan merasa bersalah karena adikku berkorban banyak demi nemenin kakaknya dateng acara di Jakarta, memenuhi kewajiban sebagai mahram, jagain kakaknya biar safarnya terhindar dari dosa. Jadi ingat, saat aku masuk gerbong komuter ladies only, dan adikku masuk gerbong di sebelahnya. Jadi komuter itu ada gerbong khusus perempuan, biasanya di paling depan dan paling terakhir.

Jadi kami makan, trus karena aku butuh cari supermarket, dan di mall itu kagak ada, akhirnya kami jalan sekitar 10 menit. Sebelum nemu supermarketnya, kami baru menemukan spot makan yang 'normal', yang cocok untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Aku jadi nyesel kenapa ga nurut adikku, untuk jalan aja dulu dan jangan tergantung sama google map hehe. Yaudah sih, memang bukan rejeki.

***

Udah aja kali ya, beneran jadi banyak curhat.

It's only three days and two nights trip, but it gives a lot of experience to me.

Lain kali, kalau diberi kesempatan, ingin safar lagi, biar bisa memetik banyak hikmah.

Selesai J


***

Keterangan foto + kisah dibaliknya:
[1] saat itu aku bertanya pada adikku, mereka lagi ngerjain apa ya? Kata adikku ngecat garis putih. Ak u tanya lagi, mereka kerjanya lembur sampai malem gini? Adikku jawab, justru mereka baru bisa kerja jam segini. Aku mengangguk setuju, kalau siang jalanan ramai. Beberapa menit kemudian, terlihat pancaran api dari alat yang dipakai pekerja tersebut. Aku tanya lagi ke adikku, itu lagi ngapain ya? Adikku, seolah-olah tahu banget pekerjaan itu jawab lagi. Kayanya untuk ngeringin aspal yang basah. Aku dalem hati ber-O, iya ya, kan kalau basah ga bisa di cat. Trus aku inget salah satu ceramah ustadz Nouman tentang buruh. Bahwa Allah menghargai buruh, orang yang bekerja pakai tenaganya. Mereka.. bisa saja berpangku tangan, mengemis, atau apalah. Tapi mereka memilih bekerja. Semoga Allah berkahi kehidupan mereka J Aamiin. 

[2] Masjid Istiqlal, sesaat setelah penantiannya selesai. Menjelang fajar, sekitar jam 3an. Satu jam sebelum itu, aku duduk di bangku semen di trotoar masjid Istiqlal. Adikku tertidur, sesekali tangannya mengipas-kipas, karena ada nyamuk. Kakiku terasa pegal, aku memilih berdiri dan berjalan menjauh 2 meter dari bangku. Bangku tempat adikku tidur diatasnya, dipayungi dahan pohon yang rimbun. Saat aku menjauh dua meter dari sana, aku bisa melihat langit lebih jelas. Kau tahu apa yang kulihat? Half moon. Aku memandanginya lama, kemudian kembali ke bangku, mengambil buku, kemudian menulis ini :
I've been focusing on waiting, and writing. When I get up cause my legs felt stiff and "pegel" wkwk. I just realize the half moon in the skies. It's beautiful, thinking how many phases till it reach the new moon, Ramadhan. Ya Allah berkahi Rajab dan Sya'ban serta sampaikan kami pada Ramadhan. Aamiin.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya