Follow Me

Friday, July 20, 2018

Mimpi Sepatu

Bismillah.
#fiksi

"Kemarin pagi, aku mimpi tentang sepatu," ucapmu tiba-tiba saat kami hendak makan siang bersama. Kamu bukan tipe yang biasa memulai percakapan, apalagi di tempat umum seperti ini. Bukan cuma aku yang heran, si kembar Lili dan Laili juga menurunkan sendok yang sudah dekat menuju mulut masing-masing. 

Kamu, seperti ragu melanjutkan cerita. Tanganmu memutar-mutar sedotan di atas jus strawberry kesukaanmu.

Lai segera meyakinkanmu agar kamu melanjutkan cerita mimpi pagi ini. "Mimpi tentang sepatu?"

Hm.. jawabmu singkat. Kemudian kamu menyuruh kami berhenti menatapmu seperti itu.

"Dengerin sambil makan aja, cuma cerita mimpi aneh kok," mendengar kalimat tersebut, kami tertawa dan saling komentar, karena jarangnya kamu bercerita jadi kami penasaran. 

***

Aku berada di luar gedung bertingkat, tanpa alas kaki. Gedung yang menjulang tinggi di depanku, terasa begitu menjulang dan membuatku mengerdil. Aku harus pulang, tapi bagaimana mungkin aku pulang tanpa alas kaki?

Aku ingat, sepatuku tertinggal di lantai teratas gedung ini. Tapi untuk masuk ke sini, naik ke lantai lima, aku tidak yakin aku bisa. Padahal ini bukan gedung berhantu. Hanya saja, gedung ini menyimpan masa lalu kelamku. Aku ingat, saat aku terisolir dari penghuni gedung, teringat saat seseorang digedung ini menolakku karena tidak ingin aku berada di gedung ini. Untuk mengambil sepatuku, aku harus siap masuk dan 'bertemu' kembali dengan masa lalu kelam tersebut.

Bagaimana kalau aku bertemu dengan orang yang kukenal? Bagaimana jika mereka bertanya dan heran, bagaimana aku bisa datang lagi ke gedung ini? Ketakutan itu membuatku mencari jalan lain menuju lantai 5. Aku tidak naik lift, bukan pula naik tangga darurat. Tapi aku benar-benar mendaki gedung dari luar. Ketika sudah sampai lantai empat, seseorang melihatku dan bertanya, ngapain aku di situ? Aku menjawab pendek dan ketus. Aku kelelahan setelah sampai lantai empat, kaki tanpa alasku luka. Dan orang itu... dengan ringan bertanya padaku dengan nada mengejek. 

"Gak ada pintu masuk dari sana. Apa kamu ga cape?" Mendengar komentarnya membuatku makin marah. Kujawab ia dengan kalimat pedas, yang lebih bikin aku cape itu kamu. Iya kamu yang cuma bisa komentar. Aku tidak melihat wajahnya, namun aku tahu itu suara siapa, ia salah satu 'teman' ku saat dulu duduk di bangku sekolah. Namanya terdiri dari tiga huruf, nomor absennya tepat di atasku. 

Aku akhirnya turun, sadar bahwa aku tidak bisa memaksaka diri melalui jalur yang salah. Aku beranikan diri memasuki gedung itu, masih dengan niat mengambil sepatu yang tertinggal di lantai lima. 

Seseorang menemaniku, tapi aku tidak tahu siapa, wajahnya tidak terlihat, dan ia tidak bersuara, ia diam saja. Yang aku tahu, saat lift mencapai lantai 3, dan pintu terbuka, banyak orang masuk lift, seketika bayangan masa lalu kelamku membuatku menggenggam tangannya. Begitu erat, mungkin sampai melukai tangannya. Ia menampik tanganku, seolah tidak mau aku menggenggam tangannya. Meski ia tidak bersuara, seolah aku tahu apa yang dipikirannya. 'Aku cuma mau nemenin kamu, tapi ga usah pakai gandeng tangan'. Aku menunduk malu, aku tahu orang-orang yang naik lift tidak ada yang mengenalku. Aku sendiri saja, yang terlalu mengingat masa lalu kelam di gedung ini. Seperti video tayang ulang, kejadian di lantai 3 masa lalu, di lantai 4 masa lalu, aku melihatnya lagi, dipaksa menghadapi dan bukan lari. 

Lift sudah sampai lantai lima, aku bisa bernafas lega. Lantai lima adalah lantai baru di gedung ini, ini lantai yang bersih dari kenangan apapun. Di sini, kucari sepatuku. Ada beberapa flat shoes di ruangan yang bernuansa biru. Sofa biru, karpet biru dan dinding biru. Aku duduk dan mengambil satu sepatu kanan yang kukenali sebagai sepatuku. Desainnya sederhana, flatshoes berwarna biru dengan pinta kecil di atasnya. Kucari pasangannya, namun yang kutemukan justru sepatu kiri dengan ukuran yang lebih kecil. Meski desainnya sama, warnanya sama, dapat kulihat dengan jelas bahwa yang kiri lebih kecil satu nomor dibawah sepatu kananku. Ku cari lagi, barangkali ada diantara flatshoes yang berjajar di ruangan itu. Ada sebelah sepatu yang jika kusandingkan dengan sepatu kananku ukurannya sama persis. Meskipun modelnya berbeda, tapi warnanya sama. Kucari lagi diantara sepatu yang ada. Belum juga kutemukan pasangan sepatu milikku.

Aku harus segera pulang, maka aku mengambil sepatu dengan ukuran yang sama. Ketika hendak kupakai, aku baru menyadari, bahwa meski ukurannya sama, ternyata sepatu biru dengan lingkaran kecil di atasnya itu ternyata sebelah kanan juga. Tidak mungkin aku pakaikan di kaki kiriku. Akhirnya aku mengambil sepatu kiri yang ukurannya lebih kecil. Aku pikir, setidaknya bisa kupakai dan aku bisa segera pulang.

***
"Trus kamu jadi pulang pakai sepatu nomer 39 di kaki kanan, dan nomer 38 di kaki kiri?" tanyaku padamu.

"Yang bikin aneh itu.. ternyata setelah aku pakai, ukurannya pas untuk kakiku." jawabmu. Kemudian memutar-mutar sedotan di jus strawberry yang sudah habis dan menyisakan dua kotak kecil es batu.

Lili dan laili saling berbisik dan tertawa kecil. Aku dan kamu menatap si kembar tanda tidak nyaman. Kami pernah berjanji untuk tidak berbisik saat di tempat umum meski berisik. Lebih baik mengeraskan suara, atau pindah tempat untuk mengobrol. 

Laili akhirnya angkat bicara, "Kata Lili, kakimu kali yang aneh, ukurannya beda kanan sama kiri" ucapnya sambil menahan tawa. Aku memperhatikan wajahmu, takut kamu tersinggung dengan candaan si kembar. Tapi yang kutemukan hanya senyum tipis.

"Bercanda loh, jangan dimasukin ke hati" ucap Lili, takut senyum tipismu itu senyum pahit. 

"Ada keanehan lain dari mimpi tadi pagi," kamu tidak dengan ringan melanjutkan cerita. Aku dalam hati merasa lega, kamu yang hampir selalu serius kali ini mampu mengikuti candaan si kembar.

Kamu menunjukkan sebuah luka di telunjuk kirimu. Bentuknya seperti bentuk kuku. Kamu menjelaskan bahwa mungkin, saat bermimpi ketakutan menaiki gedung itu via lift, yang kamu genggam tangannya adalah dirimu sendiri. Kuku panjangmu melukai tanganmu sendiri.

Aku dan si kembar kali ini yang terbawa aura seriusmu. Jujur saja, aku jadi memikirkan, mungkinkah, perkiraanmu benar? Kalau salah, darimana luka itu didapat. Bentuknya persis seperti luka karena kuku ditekan terlalu keras dan lama di satu bagian kulit. Terkihat pendarahan di bawah kulit hingga meninggalkan bekas merah tua.

"Gatau kenapa aku jadi mikir, apa ini mirip semacam hipnotis? Itu loh yang di film-film, kalau ada yang ingin ingat masa lalu yang dilupakan atau terkunci di memori?"

Kami makin penasaran dengan ceritamu. Aku, Lili dan Laili tahu.. bahwa kamu tidak mengingat masa-masa sekolah. Bukan seperti amnesia, tapi lebih seperti orang yang sangat pelupa. Padahal daya ingatmu sangat tinggi. Kamu bahkan ingat hampir semua curhatanku dan curhatan si kembar. Kamu bisa dengan mudah mengenal mahasiswa satu jurusan baik angkatan kami, adik tingkat maupun kakak tingkat. Tapi kamu lupa, bahwa kamu pernah belajar karate saat di SMP. Kamu juga lupa, bahwa siapa nama teman sebangku saat SMA.

Seorang pelayanan membuyarkan suasana serius kami. Pelayan itu hendak mengambil piring dan gelas kotor kami.

"Ini cuma overthinking kan?" tanyamu pada kami. Lili mengangguk.."Mimpi cuma bunga tidur, lagian tadi pagi kita emang ribut ngobrolin sepatu buat.. ". 

"Buat dateng ke walimah kakak kelasku, " potong Laili. Aku yang sadar Lili hampir menghancurkan rencana hadiah kejutan untukmu segera menyikut Lili yag duduk di samping kananku.

***

Malam sudah menunjukkan pukul sepuluh, aku keluar kamar hendak mengisi tempat minum dengan air tremos. Kulihat kamu di ruang TV, layar TV menyala, tapi layar laptopmu juga menyala. 

"Nulis apa?" tanyaku, setelah mengisi botol minumku dengan air hangat. 

"Baca aja nanti," jawabmu singkat. Aku mengangguk. Kemudian pamit ke kamar.

***

Pernahkah kamu mimpi, bermimpi sesuatu yang sangat mencekam, hingga saat terbangun perasaanmu tidak tenang. Bukan mimpi hantu padahal, tapi pagi ini aku terbangun dengan perasaan tak nyaman. Air dingin yang kupakai untuk wudhu membuatku menemukan bahwa jari telunjukku terluka. Lalu perasaanku seakan hanyut dan mengulang kembali mimpi sesaat sebelum aku terbangun. Aku menjadi super sensitif. Selepas shalat, aku biasanya langsung kembali ke kasur dan menarik selimut. Tapi pagi ini aku duduk dan menangis. Bukan menangis karena ingat dosa, bukan pula sembari berdoa. Tapi duduk saja, menangis mengingat mimpi dan perasaan tak nyaman yang dibawa mimpi itu. 

Pagi ini, siang ini, bahkan sampai malam ini aku bertanya-tanya. Apa gerangan pesan yang dikirimkan mimpi itu kepadaku? Apa mimpi pagi ini, hanya bunga tidur akibat suara teman kosan yang mengobrol tentang sepatu? Atau ini, berkaitan dengan alam bawah sadarku? Sungguh aku tidak tahu. 

Tapi mimpi pagi ini, tidak kukelompokkan sebagai mimpi buruk. Entah mengapa. Mungkin karena perasaan tidak nyaman ada di pertengahan mimpi. Mimpi itu berakhir sederhana, dengan perasaan ringan. Bahwa sepatuku sudah kutemukan, bahwa yang kukira akan cukup dan pas, ternyata justru tidak bisa di pakai. Dan yang kukira tidak pas, ternyata justru bisa dipakai.

Sepatu di mimpiku, seperti garis yang ditulis pada hidupku. Aku pikir rencanaku yang paling pas dan oke. Tapi ternyata, sepatu yang terlihat kekecilan itu, justru yang pas untukku. Aku sok tahu dan hanya melihat dengan mata. Padahal saat aku meletakkan kakiku di sepatu itu, aku jadi paham, bahwa sepatu inilah yang pas untukku.

Tulisan random, tentang mimpi sepatu pagi ini. 

Special thanks, untuk tiga teman yang mau dengan antusias mendengarkan mimpi anehku. (:
Semoga kita tidak hanya bersahabat di dunia, tapi berlanjut pula di akhirat, di JannahNya, aamiin.

_Juli, 14, 2018 - Pohon Kekisah

***

The End

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya