#nukilnbuku #buku
Alhamdulillah bersama Generasi Al Fihri buku Madarijus Salikin sudah selesai dibaca, menambah daftar list buku yang harus diresensi. Bersama Gen Al Fihri juga, aku memulai membaca buku baru. Beberapa hari sebelum selesai baca, aku sudah berpikir buku apa yang akan kubaca selanjutnya? Sampai mataku, qadarullah, tertarik pada satu buku dengan cover pink di lemari kaca. Bukan buku milikku, punya kakak kayanya. Sirah Aisyah radiyallahu anha, yang ditulis oleh Sayyid Sulaiman An-Nadwi.
dokumentasi pribadi |
Aku mulai baca dari pengantar penerbit, prakata dari Ustadz Sa'id Al-A'zhami An-Nadawi, juga muqadimah dari pentahqiq. Jujur, baru pernah baca buku begini. Sebelumnya, mana paham aku arti tahqiq dan takhrij. Prakata dari Ustadz Sa'id Al-A'zhami An-Nadwi membuatku bukan cuma membaca sirah Aisyah, tapi juga diceritakan perjalanan bagaimana buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Gatau kenapa, karena tahu behind the scene-nya jadi dapat hikmah juga, tentang indahnya islam, bagaimana niat terhitung pahala, dan Allah menghitung usaha dan proses, bukan cuma melihat hasil akhir.
Jadi aslinya, sirah Aisyah karya Sayyid Sulaiman An-Nadwi ini ditulis dalam bahasa urdu. Karena isinya yang bagus, ingin diterjemahkan dalam bahasa arab, bahasa persatuannya umat islam, bahasa yang Allah pilih untuk mempersatukan kita, sehingga kita bisa shalat satu shaff, membaca ayat quran. Meski jika diluar shalat, mungkin kita tidak bisa saling berkomunikasi karena perbedaan bahasa.
Jadi.. behind the scene-nya menceritakan niatan menterjemahkan, didelegasikan ke A, sudah dikerjakan setengah jalan, qadarullah tidak selesai karena satu dua hal, lalu didelegasikan lagi, sampai jadi deh buku ini. Bayangin deh, kalau kisahnya diluaskan lagi, bagaimana dari buku yang sudah berbahasa arab itu, diterjemahkan lagi ke beberapa bahasa, salah satunya bahasa indonesia, dan bukunya ada di tangan kita sekarang untuk dibaca. Ini kan, yang namanya berkah? Bagaimana Allah melipatgandakan nikmat. (':
***
Muhammad Rahmatullah Hafizh An-Nadwi selain mentahqiq dan mentakhrij buku ini, beliau juga menambahkan satu bagian dalam buku ini, pengenalan sekilas tentang penulis. Judulnya selayang pandang tentang kehidupan Al-Allamah Sulaiman An-Nadwi rahimahullah. Dari sinilah, saya memilih judul postingan kali ini hehe. Panjang ya alurnya? hehe.
Jadi di selayang pandang kehidupan penulis buku ini disebutkan prestasi-prestasinya, baik dari segi Al Qur'an, Hadits, Fiqh, Sejarah, dll. Nah.. dibagian sejarah ini, ada satu kalimat yang membekas dan membuatku tergerak untuk menukilnya, di edisi nukil buku kali ini.
Beliau (Sulaiman An-Nadwi) adalah rujukan para dosen dan peneliti sejarah di Inda. Mereka sering melakukan kunjungan dan korespondensi dengan beliau dan mereka sering memakai pendapat dan tahqiq beliau. Beliau sangat jujur dan amanah dalam menyampaikan sejarah. Jarang sekali beliau menggunakan ungkapan-ungkapan emosional dalam tulisan-tulisannya. Beliau menyarankan agar mewaspadai penggunaan ungkapan yang membangkitkan emosi dan memainkan perasaan.
- Selayang Pandang tentang Sayyid Sulaiman An-Nadwi dalam buku Sirah Aisyah***
Membaca itu, membekas gitu rasanya. Jleb gimana gitu, soalnya aku sering nulis kelampau hiperbol. Hmm.. jadi introspeksi diri sih.
Meski memang, saran beliau lebih ke sejarah, dan aku tidak fokus menulis tentang sejarah, tapi kalimat tersebut cukup untuk membuatku teringat untuk jangan melebih-lebihkan ungkapan emosional. Kalimat itu juga mengingatkanku pada buku Serial Cinta yang di dalamnya dibahas tentang jurang para penyair, rawan kebohongan, bahkan disebutkan juga ayat dalam quran tentang para penyair. Hmmm..
Menulis postingan ini, aku jadi memikirkan lagi, kenapa sebaiknya mewaspadai ungkalan emosional dalam penulisan sejarah? Aku berpikir, tentang sejarah, yang pastinya ada momen-momen dramatis, yang membuat kita ingin menggunakan ungkapan emosional. Tapi.. kalau itu dituliskan, mungkinkah, tujuan penulisan sejarah, yang untuk mencatat fakta bisa tidak tepat sasaran?
Menulis postingan ini juga.. aku jadi memikirkan tentang show not tell.. Bagaimana penggunaan kata-kata sifat bisa membuat tulisan begitu subjektif. Kata indah, pahit, panas, keras, itu relatif, jadi subjektif. Karena indah bagi setiap orang berbeda, pahit juga, beda lidah, beda level mana yang disebut pahit. Panas, berapa derajat Celsius yang disebut panas? Tapi ini nyambung ga sih? Entahlah. Hehe
***
Intinya, di nukil buku kali ini, aku belajar bahwa Allah punya rencana indah, bagaimana sebuah buku Allah berikan keberkahan di dalamnya. Dari saat ditulis dalam bahasa urdu, lalu diterjemahkan ke bahasa arab, bahkan sampai diterjemahkan ke bahasa indonesia sehingga bisa kita baca.
Lewat nukil buku kali ini, aku tahu.. bahwa setiap niat baik Allah akan beri balasan yang baik. Dan setiap orang yang ikut serta dalam proses sampai buku ini sampai di tanganku, termasuk kakakku yang membeli buku ini, Allah akan balas juga dengan kebaikan. In syaa Allah. How amazing, isn't it?
Lewat nukil buku kali ini, aku diingatkan untuk berhati-hati dalam menulis ungkapan-ungkapan emosional. Boleh pakai, tapi hati-hati. Kalau ga perlu ga usah.. ga usah dihiperbolkan. Ya? Hehe
Terakhir, barangkali ada yang butuh temen baca, buat ngingetin untuk membiasakan membaca buku, atau butuh temen diskusi hasil membaca, khusus untuk perempuan, bisa kontak saya ya.. kirim email aja ke isabella.kirei@gmail.com, say hai, nanti kita obrolin enaknya komunikasi via apa. J
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya