Bismillah.
#fiksi
Siang itu aku menunggu pintu sebuah toko dibuka. Jumat. Aku duduk di bangku agak jauh dari toko, tempat banyak mahasiswa duduk di sana mengerjakan tugas, makan siang, sembari menunggu kelas masuk. Sejujurnya hari itu suasana hatiku tidak dalam kondisi stabil. Selalu begitu sebenarnya, setiap kali aku berada di dekat gedung tersebut. Rasa bersalah menyelimuti, aku sudah terlalu lama lari dan menghindar. Sudah berani untuk mendekat, bahkan berada di gedung itu, namun sekedar itu, tidak menyelesaikan satupun masalah.
Perlahan, aku masukkan kakiku ke bangku yang desainnya dengan meja dan berhadapan. Cukup untuk duduk 4-6 orang. Untuk menenangkan hatiku, yang semakin lama semakin was-was, dan mataku, yang mudah berair saat hatiku seperti itu, aku membuka aplikasi mushaf Quran di HPku. Ini hari jumat, mari membaca Al Kahfi, seharusnya bisa tepat selesai aku baca, ketika pintu toko tersebut terbuka.
Kepalaku menunduk, kubaca satu demi satu ayat surat Al Kahfi, berusaha untuk selirih mungkin, meski masih terdengar. Sekitar lima belas menit, ruangan terbuka tempatku menunggu semakin ramai, orang berlalu lalang dapat kurasakan lewat pendengaranku. Aku berusaha fokus ke bacaanku, maka suaraku sedikit dikeraskan. Aku memang cukup tebal muka untuk masalah ini, aku tidak peduli kata orang, aku cuma ingin menenangkan hatiku dengan kalam-Nya, I don't care if someone looking at me, or they annoy because of me. Aku masih melanjutkan bacaanku, terkadang jeda sebentar sekedar menelan ludah di mulutku yang terasa semakin kering.
Aku sudah memasuki kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir. Saat seseorang duduk disampingku, mungkin dengan jarak sekitar 40-50 cm. Aku masih fokus dengan bacaanku, tak kuizinkan pandanganku meluas, aku sempitkan sudut pandanganku. Aku tidak tahu, apakah yang duduk di sebelahku seorang mahasiswa, atau seorang orang tua, laki-laki atau perempuan. Sampai kudengar lewat telinga kananku, suaranya, saat membaca ayat Quran, bukan Al Kahfi, sepertinya tilawahnya hari ini. Seorang laki-laki, jujur saja seketika bacaanku sempat buyar, tidak fokus dan salah di satu dua harakat/huruf. Aku berdoa dalam hati, agar Allah bisa membantuku melanjutkan baca Al Kahfi sampai ayat terakhir. Aku masih lanjut membaca, menundukkan pandangan dan tidak membolehkan ujung mataku menangkap lebih banyak dari sosoknya, selain lewat telinga saja.
Ia membaca surat dalam Quran yang tidak familiar di telingaku. Suara tilawahnya lebih keras daripada suaraku. Jujur, aku tidak bisa menyembunyikan rasa tidak nyamanku saat ia mulai membaca Quran di sampingku. Suaraku semakin lirih, tanganku dan tubuhku kaku, berusaha tidak bergerak selain jemari yang perlu menggeser lembar aplikasi mushaf di layar hp. Kisah dzulqarnain dan ya'juj ma'juj sudah selesai. Halaman terakhir, dalam hati aku seolah bernafas lega. Aku bisa segera pergi dari sini.
Setelah kuakhiri ayat 110 al kahfi, dan memasukkan hp ke tas, aku segera beranjak pergi, tak menoleh, tak ingin tahu sama sekali tentang siapa yang berani duduk di sebelahku dan membaca Quran di sana. Aku melangkah, ke toko yang sudah terbuka pintunya, sembari menggumam kecil.
"Why is he doing that? What does he mean? Why must he sit next to me and do the same thing I do? Do I even know him? Does he even know me? Why? I hate it!", gumamanku berhenti saat aku kudapati dua orang tengah mengantri di depanku. Orang di depanku menoleh, mungkin sedikit mendengar gumaman berbahasa inggrisku. Aku segera menunduk, kemudian mencari amplop coklat berisi beberapa dokumen yang akan aku kirim. Aku kemudian menggumam pelan lagi saat yang mengantri di depanku menghadap ke loket lagi. 'Sorry'
***
Sembari menunggu giliran, aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang kejadian tersebut. Kalau saat aku sendiri, aku bisa cuek membaca Quran dengan suara lirih. Tapi kondisinya berbeda saat sesosok orang menyebalkan itu duduk disampingku dan melakukan hal yang sama. Aku tidak bisa berhenti memikirkan, bagaimana reaksi/apa yang dipikirkan orang lain saat mereka melihat aku dan sosok tersebut. Semoga mereka tidak memikirkan yang tidak-tidak.
"Jangan menunggu di tempat ramai, kalau kamu tidak nyaman pada orang lain yang bisa jadi duduk di sampingmu dan melakukan hal sama yang juga kau lakukan. Mungkin bukan maksud ia meniru, tapi saat itu terjadi, dan kau jadi banyak berburuk sangka... Lain kali menunggulah di tempat lain yang lebih sepi. Di selasar rahasia meski jauh dari tempat yang hendak kau tuju. Di sana lebih aman dan nyaman, meski mungkin saat kau sampai di tempat tujuan, kamu harus mengantri dua kali lipat dari jumlah antrian hari ini. Mistakes can happen, a coincidence is actually not a coincidence. Maybe you'll learn the lesson ofannoyinguncomfortable thing happened to you just now."
The End.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya