#beresberesdraft
Ingin aku bertanya padamu? Perasaan seperti apa yang kamu rasakan dulu? Seperti yang aku rasakan sekarang kah?
- kirei, draft 21 Mei 2017***
Aku membaca tiga kata tanya itu di preview draft 21 Mei lalu. Lalu selintas memori hadir saja, tidak detail dan tidak banyak. Tapi sedikit mendeskripsikan kepadaku, mengapa kutulis tiga pertanyaan itu di draft empat bulan yang lalu.
Aku memang tidak akan meneruskan tulisanku, seperti saat awal kutulis draft tersebut, tapi izinkan aku mencoba memetik hikmah lain, mencoba menulisnya dari sudut pandang berbeda. Yang menulis memang masih aku, tapi aku di bulan Mei lalu, dan aku di bulan September ini mungkin sedikit berbeda, dari segi berat badan, eh hehe, atau dari segi pemikiran. Semoga Bella yang sekarang jauh lebih baik daripada Bella di bulan Mei lalu.
***
Tiga pertanyaan itu, sebenarnya cuma dua pertanyaan. Yang pertama, seharusnya diakhiri dengan tanda titik, atau koma. Atau mungkin sebenarnya memang tiga, karena saat itu aku tidak yakin, benarkah aku ingin bertanya padamu? Beranikah aku bertanya padamu? Semacam itu.
Tiga pertanyaan itu, membuatku sadar bahwa manusia itu terkadang sangat sulit untuk berempati. Mungkin kita bisa sekedar simpati, kalau teman sedih, kita ikut merasa sedih. Tapi mungkin perasaan tersebut cuma di permukaan, karena nyatanya, kita tidak pernah tahu sesedih apa perasaan teman kita. Begitu pula sebaliknya, kita mungkin bisa bersimpati, pada seorang teman yang punya masalah keuangan. Tapi mungkin perasaan itu cuma di permukaan, bukan berarti palsu, hanya saja, kita tidak bisa sepenuhnya mengerti. Apa lagi, kalau kita belum pernah memiliki masalah keuangan sama sekali.
Tiga pertanyaan itu, membuatku sadar, suatu saat kita akan menyadari, bahwa sesimpati apapun kita kepada orang lain, seempati apapun, nyatanya kita cuma manusia. Ya, manusia yang individualis, bukan dalam artian egois. Kita humanis, bisa bersimpati dan berempati, tapi seringnya itu cuma perasaan sesaat, hingga kemudian kita disibukkan dengan perasaan kita sendiri.
Sampai suatu saat, kita menghadapi masalah atau perasaan yang mirip. Kemudian kita jadi ingin bertanya, pada ia yang kita tahu pernah mengalaminya. Bagaimana perasaannya dulu? Sama seperti yang kita rasakankah?
Ingin aku bertanya padamu? Perasaan seperti apa yang kamu rasakan dulu? Seperti yang aku rasakan sekarang kah?
Sebenarnya, hal ini tidak terhenti sekedar di rasa sedih, atau rasanya punya masalah tertentu. Tapi juga perasaan-perasaan positif. Seperti... rasanya excited pertama kali berlibur, setelah hampir dua tahun berkutat di rutinitas yang itu itu saja. Atau seperti ribet tapi seru dan menyenangkan ngurus anak sendiri dari bayi sampai besar, ga pakai bantuan baby sitter. Atau perasaan perasaan lain, yang awalnya cuma bisa simpati, cuma bisa kita empati, dan tidak lebih dari itu.
Pertanyaan itu, membuatku sadar. Bahwa karena itulah, terkadang kita membaca kisah/pengalaman orang lain. Meski normalnya kita tidak peduli pada kisah yang terlalu personal, pun kita tidak dianjurkan berbicara banyak tentang diri. Tapi kenyataannya, banyak tulisan bermanfaat yang kita temukan, karena ia menuliskan pengalamannya. Seperti halnya ingin menentukan objek wisata yang dikunjungi dan membaca blog yang menceritakan pengalaman pergi ke tempat-tempat wisata. Atau seperti membaca pengalaman mahasiswa yang kuliah sembari menghafal quran, saat kita berniat untuk menghafal namun tidak pergi ke pesantren khusus yang full day. Semacam itu. Itulah mengapa banyak buku kompilasi, buku kumpulan kisah orang-orang dengan tema khusus. Misalnya buku-bukunya Asma Nadia, serial Catatan Hati, atau buku-buku serial a Cup of Comfort.
***
Ingin aku bertanya padamu? Perasaan seperti apa yang kamu rasakan dulu? Seperti yang aku rasakan sekarang kah?
Pertanyaan itu.. sejujurnya membuatku memikirkan refer dari kata "kamu". Akankah suatu saat, aku berani bertanya padanya? Atau mungkin tidak. Tapi bertanya atau tidak itu.. bukan hal penting. Aku cuma ingin, kalau kami bertemu lagi, kami bisa saling senyum, salam dan sapa, lalu mengobrol ngalir, tanpa rasa kikuk karena sudah lama tidak berkomunikasi. Mungkin aku yang harus banyak belajar lagi, tentang menjalin ukhuwah jarak jauh, terutama dengan ukhti inspiratif seperti kamu.
Terakhir, pertanyaan itu.. mengingatkanku, untuk tidak ragu menulis pengalaman, yang bisa bermanfaat, yang bisa diambil hikmahnya. Bukan sekedar cerita keseharian macam diary yang isinya keluhan. Bukan itu. Tapi cerita pengalaman yang.. yang apa ya? Intinya, tulis dulu deh! Semangat^^
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya