Follow Me

Monday, September 18, 2017

Permen

Bismillah.
#fiksi
Aku akan menyesalinya, menyesalinya, dan menyesalinya lagi. Tidak dapat kupungkiri, meski sebagian hatiku akan lega, tapi sebagian hati yang lain tidak akan berhenti untuk menyesal.

"As far as I know, regret can change nothing. Yes, that uncomfortable feeling won't change anything. Beside, that uncomfortable feeling might be holding you back when you try to walk forward. But as far as now, I still want to keep this regret, but not to be drawn to, instead to remind myself, that I shouldn't repeat that same mistakes, that I shouldn't repeat that same missteps, that I shouldn't repeat that same misspeak"
Aku mengetik rangkaian paragraf tersebut, kemudian tersenyum geli karena aku seenaknya saja membuat frase baru, 'ada gitu kata missteps? apa lagi misspeak?' batinku.

"Lagi ngapain Ya?", sebuah suara membuatku menoleh ke arah dispenser. Suara Siska, seperti tebakan telinga dan memori otakku, ia yang turun dari lantai dua untuk mengisi botol air minumnya. Kujawab iseng, "Sedang duduk", mendengar jawabanku Siska mendengus. Suasana kemudian hening, hanya terdengar suara air yang berpindah, dari galon, ke keran dispenser, kemudian ke botol 1L berwarna biru muda itu. Aku saat itu sedang sibuk mencari grammar dan vocab yang benar, saat Siska duduk di sampingku, di meja ruang tengah kontrakan kami.

"Aneh," gumamnya pelan. Aku melihat dari ujung mataku, pandangan Siska ke wajahku, seolah ada laser di matanya. Aku menoleh, kemudian membesarkan kedua bola mataku, menunjukkan ketidaknyamananku dipandang Siska seperti itu, juga meminta penjelasan lewat gesture mata tersebut. Siska yang sudah tiga tahun tinggal se atap, pernah sebelahan pula kamarnya, saat dulu aku masih di lantai 2, menangkap sinyalku.

"Lo aneh banget Ya, Kiara, alias Aya", ucapnya sepenggal. Kemudian ia lanjutkan dengan berbagai analisis wajahku yang tidak cocok.

"Tadi, waktu aku turun, ujung bibirmu naik satu senti, harusnya kamu sedang bahagia. Tapi.. ketika aku dekati, ada jejak tangis di mata dan pipimu," jelasnya. Aku memilih mengabaikan penjelasannya, karena tidak ingin menjelaskan yang sebenarnya terjadi.

"Aya? Lo baik-baik aja kan Ya?", ucap Siska sembari menempelkan telapak tangannya ke dahiku, yang kemudian segera aku lepaskan. Siska memiringkan sedikit kepalanya, tanda kalau ia benar-benar merasa heran.

"Kenapa? Ga panas? Iyalah. Aku sehat Ka, Lo aja ya aneh," ucapku dengan nada meninggi. Siapa juga yang dibilang orang aneh.

"Hidup ini Ka," ucapku, "emang kaya gitu. Sebentar nangis, sebentar kemudian ketawa. Ga mungkin nangis-nangis terus, atau ketawa-ketawa terus. Harus fluktuatif, ada bahagia ada sedih, ada sakit, ada sehat, ada luang, ada sibuk. Apanya yang aneh?" ucapku, masih sewot. Siska cuma angguk-angguk kepala, dan menggerakkan tanggannya seolah mempersilahkanku kembali fokus ke laptop.

"Terimakasih atas wejangan malam ini, Raden Ayu Kiara," ucapnya dengan nada pelan dan penuh sopan santun. Aku yang sempat naik darah jadi leleh lagi, kemudian tersenyum. "Maaf, kebawa emosi", kataku sembari menggigit bibir karena menyesal sudah meluapkan rasa marahku pada Siska.

"Dimaafkan. Salah gue juga bercandain miss sensi," ujarnya kemudian berlari kecil menaiki tangga

"Ka," panggilku kemudian berdiri, Siska makin mempercepat langkahnya mungkin mengira aku hendak mengejarnya.

***

Untuk yang satu ini aku akan menyesalinya, aku tahu, aku akan menyesalinya, lagi dan lagi. Tidak dapat kupungkiri, meski sebagian hatiku akan lega, tapi sebagian hati yang lain tidak akan berhenti untuk menyesal.
  
"Menyesal memang tidak dapat mengubah apapun, aku tahu itu. Menyesal juga dapat menahan kita untuk maju ke depan, itu.. aku juga tahu. Tapi untuk saat ini, tentang ini, aku akan membiarkan diriku menyesal, lagi dan lagi. Bukan untuk tenggelam dalam penyesalan, kemudian hidup di dalamnya. Bukan. Tapi untuk mengingatkan diri, bahwa pahit asam dan asin penyesalan ini, tidak sedap. Supaya aku tidak merasakannya lagi, aku harus belajar dan berprogres. Saat menyesal, penyesalan, dan kata-kata lain terntang sesal dikelilingi aura negatif, izinkan aku menyimpannya untuk kemudian menjadikan aku positif. Semoga dengan menyimpannya, atau mengingatnya, lagi dan lagi, aku jadi berusaha untuk tidak jatuh di kesalahan yang sama. Dengan memilikinya, lagi dan lagi, membuatku belajar untuk tidak salah langkah, tidak salah bicara, tidak salah lagi di tempat yang sama, dengan cara yang sama, dengan situasi yang sama.

Meski aku tahu, manusia sejatinya, akan mengulangi kesalahan lebih dari satu kali. Izinkan aku menyimpan penyesalan ini, mengingatnya lagi dan lagi. Agar hatiku selalu tunduk malu di hadapanNya. Agar mataku selalu basah, memohon ampun kepadaNya. Agar setiap tinggi hati musnah, setiap perasaan sombong sirna, karena aku tahu.. aku menyesal, begitu menyesal, lagi dan lagi atas setiap kesalahan yang aku perbuat.

Semoga Allah menjadikanku salah satu hamba, yang selalu bertaubat dan kembali padaNya, lagi dan lagi. Berlari, ke Ampunan-Nya yang lebih luas dan jauh lebih besar, dari dosa-dosaku.

PS: Terkadang menulis dengan bahasa inggris, untuk topik sensitif memang menyenangkan, dan sudah jadi ciri khasku. Tapi jika aku tersendat, karena kemampuan bahasa inggrisku yang segitu-gitu saja, bahasa indonesia, bahasa utamaku, bukan lagi pilihan kedua. Cause it's better to write it, than to kept it inside and let it bottled up. Right?"
Aku melihat baris judul di editor blogku. 'Harus kuisi dengan apa ya?' batinku, saat kudengar langkah kaki turun dari lantai dua. Aku buru-buru menyembunyikan botol biru satu liter di belakang punggungku.

"Cari apa Ka?" tanyaku dengan senyum yang merekah di wajahku. Jejak air di wajahku kini sudah benar-benar sirna, mataku juga sudah tidak merah atau bengkak lagi. Perasaanku sudah membaik sehingga aku bisa berlaku childish, menyembunyikan botol biru yang tadi ditinggalkan Siska yang sibuk melarikan diri, padahal aku tidak berniat mengejarnya.

"Tadi kamu berdiri mau ngingetin kalau botolku ketinggalan?" tanyanya.

"Botol apa?" tanyaku kemudian mencoba menahan tawa. Lalu kami "berantem" layaknya anak kecil, Siska yang berusa mengambil botol birunya, dan aku, yang berusaha mencegahnya.

The End.

***

Epilog *wah ada epilog juga kkkk*


Siska sebenarnya dari tadi tidak masuk ke kamarnya. Ia memang lari naik ke lantai 2, kemudian duduk di anak tangga paling atas. Terduduk saja dalam hening sembari mencoba mendengarkan suara dari lantai satu. Yang ia dengar cuma suara kecil saat jemari Aya beradu dengan keyboard, kemudian hening, kemudian suara Aya membersihkan cairan di hidungnya sekali, mungkin karena tangis sunyinya. Selebihnya, suara jemari yang beradu dengan keyboard lagi. Setengah jam, tidak ada isak, tidak ada suara tangis, perlahan Siska beranikan diri turun ke lantai satu lagi. Saat itulah ia disambut senyum mekar Aya. Siska menghela nafas lega dalam hati, "Aya baik-baik saja, Aya sudah baik-baik saja."

Penghuni kontrakan lain mungkin tidak tahu. Mereka tidak pernah tahu kalau Aya selalu menyembunyikan tangisnya. Ia bisa dengan mudah tersenyum, meski matanya mengalirkan air mata. Ia bisa dengan mudah menjawab, kalau ia kurang tidur, dan memang ia selalu kurang tidur. Tapi Siska tahu, Aya selalu seperti itu. Dibalik senyum itu, senyum manis itu, ada banyak luka di hati Aya. Ada bekas tangis yang seringkali dapat hilang dalam hitungan menit. Dan Siska tidak pernah memberanikan bertanya alasannya, karena Aya selalu begitu, penampakannya terlalu ekstrovert untuk seorang introvert. Senyumnya bukan senyum topeng, karena benar kata Aya, kalau kehidupan memang seperti itu. Dalam hitungan detik, kita bisa berpindah dari kondisi tangis ke kondisi tersenyum. Dari sana Siska belajar banyak hal, kalau Siska tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Ada banyak yang bisa membuat Aya tersenyum, meski Siska tidak tahu, apa yang membuat Aya tersenyum saat Siska pertama kali turun untuk mengisi botol air minumnya. Yang siska tahu, Aya sekarang sudah baik-baik saja, dan senyum kali ini.. bisa jadi Siska pemicunya.

permen (from unsplash)

"Semoga Siska bisa jadi alasan kecil untuk Aya tersenyum, dan bercanda lagi, seperti anak kecil, yang bisa dengan mudah tersenyum karena sebuah permen meski sedetik yang lalu menangis. Izinkan Siska menjadi pemen itu", ucap Siska dalam hati ketika ia mulai mencoba merebut botol biru yang disembunyikan Aya di belakang punggungnya.

***

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya