Follow Me

Thursday, September 15, 2016

Anak yang Tak Punya Arti

#blogwalking

Bismillah.

bandaged heart
“Jadi selama ini , apa yang aku lakukan buat Ummi nggak ada artinya ya?”

Pertanyaan itu, dan penjelasan sang anak kepada ibunya membuatku berhasil meneruskan tulisan panjang bertema parenting itu. Aku dibuat ikut berkaca, seolah mengerti apa yang dirasakan sang ibu. Dan dalam hatiku aku berguman, "ah... aku harus menuliskan ini".

***

Tulisan itu di publish di blog salah satu penulis muslimah ternama di Indonesia, Sinta Yudisia. Blog yang artikelnya memang kebanyakan panjang-panjang, namun tak menghentikan pembaca malas seperti saya untuk memetik manfaat dari sana.

Judul tulisannya Super Child: Anak tak boleh Salah dan Kalah, diawali dengan harapan memiliki anak super.

"Anak impian kita yang merupakan gabungan Jenderal perang Qutuz, Shalahuddin al Ayyubi, Muhammad al Fatih. Anak yang mampu menggabungkan teknologi dan wirausaha ala Bill Gates dan Steve Jobs. Anak yang memiliki pengalaman kenegaraan seperti Mahathma Gandhi dan Nelson Mandela. Anak yang memiliki kefahaman ilmu agama seperti Syaikh Yusuf Qardhawi dan Syaikh Aidh al Qarni. Anak yang mampu berkomunikasi dengan fasih, menjalin hubungan interpersonal yang baik, diterima di tengah khalayak dengan terbuka."
- Sinta Yudisia

Deskripsinya begitu memukau, menampilkan beberapa nama besar yang kebanyakan kita kenal, meski hanya sedikit tentangnya. Namun jujur sebagai pembaca yang malas, paragraf pembuka tadi tidak cukup memotivasiku meneruskan tulisan yang aku scroll ternyata cukup panjang. Berat di mental.

Aku jujur meng-skip beberapa paragraf, sekedar baca judul sectionnya, tanpa benar-benar tahu isinya. Dan paragraf berikutnya aku dibuat mengulang membaca baris-baris di bagian bertajuk Anak yang tak punya arti bagi orangtua.

Izinkan kukutip saja beberapa hal yang menyentuh hatiku.
Saya bawa ke kamar, ajak bicara berdua. Saya beberkan kelebihannya dan juga kesalahannya yang membuat saya marah. Saya marah sebab ia lebih terlambat ke masjid di banding adiknya. Saya marah sebab ia lebih jarang baca Quran dan lebih sedikit hafalannya. Saya marah sebab ia lebih longgar menjalankan sunnah Nabi dibandingkan adik-adiknya.
Saya jelaskan Muhamamd al Fatih. Saya jelaskan Steve Jobs. Saya paparkan Einstein.

Lalu si abang tertunduk, matanya berkaca-kaca.
“Jadi selama ini , apa yang aku lakukan buat Ummi nggak ada artinya ya?”
Apa maksud kamu, Mas?” sebagai ibu saya semakin marah ditantang demikian.

Yang lebih baik dimata Ummi adalah adek yang rajin ke masjid. Iya, adek memang hafalan Qurannya lebih banyak. Lebih nurut. Lebih shalih.

Saya menahan nafas, menahan diri.

“Kalau aku rajin jemput adek ke sekolah, apa itu nggak ada artinya? Aku selama ini taat sama Ummi, gak mau jalan sama cewek, gak pernah ke bioskop dan mall ; gak mau pacaran; karena taat sama Ummi; apa itu gak ada artinya? Meski teman-temanku rajin ngajak aku hang out, aku berusaha patuh sama Ummi.”

Aku terdiam.

“Aku sering belikan Ummi oleh-oleh tiap kali aku ke kantin sekolah. Aku senang belikan Ummi lauk pauk biar Ummi gak usah masak.  Kalau di jalan aku mampir Indomaret atau Alfamart, aku telpon Ummi : Ummi butuh apa? Ummi mau minuman apa? Aku tahu susu kesukaan ummi. Aku tahu snack kesukaan Ummi.

Aku tercekat.

"Aku selalu berusaha menyisihkan uang saku, biar nanti saat Abah Ummi nggak punya uang dan aku butuh beli buku-buku; aku nggak harus minta lagi.

Tiba-tiba mataku basah.

Abang pun terlihat sedih.

"Aku minta maaf kalau kadang berkata kasar sama Ummi .”
- Sinta Yudisia dalam tulisannya yang menggerakkan hati
Rasanya aku ingin mengutip lanjutannya. Tapi akan terlalu panjang, jadi tolong sempatkan berkunjung ke blog asal tulisan itu kukutip.

Jujur ada perasaan yang bercampur di hatiku. Haru, karena dialog jujur antara seorang anak dan ibunya. Bersyukur, karena anaknya mampu menjelaskan pertanyaannya, dan bukan memilih pergi setelah merasa 'tidak punya arti'. Terkagum, karena di akhir sang anak meminta maaf. Malu, mengingat betapa kecil dan hina sebagai seorang anak. Masih harus belajar lebih banyak agar bisa menjadi qurotta a'yun bagi papah dan mamah.

Lagi, izinkan kututup tulisan ini dengan rasa syukur. Alhamdulillah, karena Allah menggerakkan hatiku untuk tidak menutup tab tulisan tadi. Jujur sebelumnya, aku sempat berpikir kalau tulisan itu belum relevan untukku yang belum bersanding status Ibu. Jujur sempat tergoda rasa malas membaca, namun Allah memantapkan hatiku untuk tidak menutup tab, dan berusaha membaca meski beberapa bagian tulisan saya skip.

Alhamdulillah 'ala kulli hal.

Allahua'lam.

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya