Bismillah.
Kenapa harus apel? |
Alkisah di sebuah Kerajaan setiap tahunnya diadakan sebuah tradisi tiga hari hanya makan buah apel, yaitu bertepatan pada musim apel di saat bulan purnama. Sama seperti kebanyakan tradisi lain, generasi berganti, dan beberapa generasi muda mulai mengabaikan tradisi yang tidak masuk akal bagi mereka.
Ada sebagian generasi muda yang suka sembunyi-sembunyi makan gandum selain makan apel di hari-hari itu. Ada juga yang terbuka di wilayah umum makan roti, membuat banyak generasi tua yang geleng-geleng kepala. Namun ada juga generasi muda yang tetap menjaga tradisi atau biasa juga disebut gerakan apel. Salah satu dari aktivis tervokal dari gerakan apel suatu hari sekitar dua pekan sebelum perayaan tradisi memberikan pengumuman di pusat keramaian anak muda.
Ada sebagian generasi muda yang suka sembunyi-sembunyi makan gandum selain makan apel di hari-hari itu. Ada juga yang terbuka di wilayah umum makan roti, membuat banyak generasi tua yang geleng-geleng kepala. Namun ada juga generasi muda yang tetap menjaga tradisi atau biasa juga disebut gerakan apel. Salah satu dari aktivis tervokal dari gerakan apel suatu hari sekitar dua pekan sebelum perayaan tradisi memberikan pengumuman di pusat keramaian anak muda.
"Wahai generasi muda, barang siapa yang tidak setuju dengan tradisi hanya makan apel selama tiga hari, silahkan tunjukan wajahmu dan bicaralah padaku. Niscaya aku akan menjelaskan padamu alasan mengapa tradisi itu harus tetap dilakukan."
Setelah pengumuman itu selesai di umumkan, dan si aktivis apel menggelar karpet untuk sesi pembelaan tradisi apelnya, seorang pemudi yang berada tak jauh dari sana berusaha menahan tawanya. Temannya bertanya pada pemudi bernama Delima.
"Delima, apakah kamu yakin akan makan semua jenis makanan menyalahi aturan tradisi apel?" bisik temannya. Delima mengangguk dengan mantap.
"Kamu ga mau coba ngobrol dulu sama aktivis apel?" tanya teman Delima lagi, masih berbisik sembari malu-malu menunjuk ke arah pemuda aktivis apel yang duduk membelakangi mereka.
"Kenapa aku harus ngobrol sama dia?" ucap Delima dengan nada normal, membuat temannya menyikut Delima. Sang aktivis apel yang berada hanya beberapa meter di depan Delima dan temannya tiba-tiba menengok ke belakang, seolah sadar kalau Delima dan temannya sedang berbicara tentangnya.
"Aku punya alasan yang kuat, kenapa aku ga mau cuma makan apel selama tiga hari. Aku milih itu, bukan sekedar karena ga peduli dengan tradisi. Dia, si aktivis apel itu, memilih cuma makan apel selama 3 hari, juga karena alasan yang kuat. Bukan karena cuma ikut-ikutan kebiasaan ibu bapak dan nenek moyangnya." jelas Delima kali ini dengan volume suara lebih kecil.
"Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau aku betemu si aktivis apel dan ngobrol?" temannya Delima menggeleng.
"Kami akan berdebat panjang, saling menaikkan volume suara, emosi, dan ujung ujungnya memilih untuk berbeda pendapat."
Bayangan berdebat dengan aktivis apel membuat Delima berhenti sejenak sembari melihat ke arah sang aktivis yang kini sedang melayani "customer" pertamanya.
Bayangan berdebat dengan aktivis apel membuat Delima berhenti sejenak sembari melihat ke arah sang aktivis yang kini sedang melayani "customer" pertamanya.
"Hanya menguras energi, menguras waktu, menguras emosi, tapi tidak menemukan titik temu. Mengerti?" Teman Delima hanya angguk-angguk kepala.
Delima memang pemudi yang keras kepala, kalau ia sudah memutuskan sesuatu maka artinya ia akan tutup mata dan telinga. Tutup mata dari pandangan sinis generasi tua dan generasi muda anggota gerakan apel. Tutup mata, dari bisikan sampai teriakan orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Maka bertemu dengan si Aktivis Apel bagi Delima justru akan menimbulkan bahaya. Bisa-bisa Ia mengeluarkan jurus tendangan kipasnya yang Ia sembunyikan, karena pemudi dilarang belajar beladiri. Sebegitu keras kepalanya dia.
The End.
***
Maaf random, tiba-tiba ingin menulis ini karena membaca tulisan lama.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya