Bismillah.
jemari mereka, prasangka mereka, dan realita kita |
Adalah hal yang wajar ketika seseorang berprasangka pada orang lain. Lintasan-lintasan pikiran mereka, pikiran mereka, kita tidak pernah bisa mengaturnya. Vinda paham betul tentang konsep prasangka dan bagaimana ia tidak bisa mengatur prasangka orang lain tentangnya. Tetapi somehow, prasangka mereka terhadap dirinya, lagi dan lagi kembali menyakiti dirinya. Prasangka yang mereka ucapkan dari bibir mereka kepadanya berhasil membuat mata Vinda memerah, memaksa wajahnya untuk menengadah agar bulir-bulir air yang berdesakkan di kelopak matanya tidak jatuh dan meninggalkan jejak.
Prasangka buruk yang membuat ia tidak percaya lagi kata 'teman'. Prasangka buruk yang menyebar tanpa ia ketahui. Di kafe dekat SMP-nya, Vinda dibuat mematung saat teman dihadapannya menuliskan sebuah kata di meja kaca di hadapannya. 'Lesbi'. Sepulang dari sana, Vinda mengurung diri di kamar, menangis berjam-jam sampai ia terlelap. Kau tahu seperti di novel atau film-film yang menggunakan frasa menangis hingga matanya lelah dan tertidur, harus dirasakan gadis yang baru beranjak remaja. Vinda tak habis pikir, bagaimana prasangka itu muncul di pikiran teman-temannya dan berpindah dari mulut ke mulut. Ia hanya seorang gadis biasa. Gadis berkerudung yang mempunyai sifat clingy sehingga tidak jarang bergandengan tangan dan bermanja-manja dengan teman sebayanya. Bagaimana bisa satu kata itu menghancurkan definisi teman di hidupnya. Satu kata yang muncul dari prasangka kemudian menyebar menjadi fitnah. Satu kata yang membuat ia menganggap semua temannya adalah orang asing. Satu kata yang membuat ia membangun dinding berlapis nan tinggi. Dinding yang sampai kini, masih ada di sana. Bahkan hingga ia duduk di bangku kuliah.
Vinda mengira ia sudah cukup paham tentang arti prasangka. Namun Allah hendak mengajarkan padanya arti lain dari prasangka. Tentang prasangka baik yang ternyata juga bisa melukai hatinya, meski tidak seburuk luka yang ditinggalkan prasangka buruk.
"Bapak tahu kamu tertarik dengan masjid dan segala kegiatan di dalamnya, namun bukan berarti kamu meninggalkan akademik. Kamu harus bisa menyeimbangkan keduanya," ucap sang Bapak. Vinda yang mendengarkan nasihat berulang dari bibir Bapaknya hanya bisa terdiam, menengadahkan wajah seolah memerhatikan dedaunan pohon di atasnya. Tidak ia tidak sedang memperhatikan daun-daun yang bergerak pelan itu, ia sedang berusaha menahan dorongan bulir-bulir air yang ingin segera terjun ke tanah luas.
Setelah sang Bapak pergi, Vinda akhirnya bisa membiarkan air dari kedua bola matanya terjun sesuka hati. Ada perih yang terasa di hatinya, karena prasangka baik Bapaknya. Ia terluka atas prasangka baik Bapaknya. Dalam hati ia terus menggumamkan hal yang sama. Nggak pak, aku kaya gini bukan karena rajin aktifitas di masjid, aku kaya gini justru karena jauh dari masjid, jauh dari Allah, tersesat dan gatau jalan pulang.
The End.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya