Follow Me

Friday, September 16, 2016

Marathon, Sprint, dan Kerja Otak yang Impulsif

#blogwalking

Bismillah.
marathon : lari jarak jauh

Pertama, sadari bahwa hidup ini adalah marathon, bukan sprint. Saat ini mungkin kamu sedang kalah dari teman-temanmu, tapi bukan tidak mungkin ke depannya kamu bisa jadi yang mereka pandang tinggi kan? Kedua, meski kamu sudah lebih tinggi pada akhirnya, janganlah menjadi jumawa karenanya. Toh, semua itu selalu karena izin Tuhan kan? Ketiga, setiap orang itu punya fungsi masing-masing, jadi ditinggikannya kamu dibandingkan orang lain itu pasti punya maksud tersendiri. Pun demikian halnya dengan dijadikannya kamu lebih rendah dari orang lain.
- Belajar Bersyukur di JurnALIsme
 ***

Sebelum kutipan di atas, penulis meng-italic-kan sebuah kalimat. Stop comparing yourself to others.

Tentang comparing, perbandingan, yang kita lakukan diri kita pada orang lain memang selalu memiliki dua hasil yang berbeda motivasi atau demotivasi. Bagaimana memandang ke bawah bisa membuatmu bersyukur sedangkan memandang ke atas bisa jadi membuatmu kurang bersyukur. Atau di sisi lain, memandang kebelakang merasa cukup dengan kecepatan lari saat ini, sedangkan memandang ke depan membuatmu termotivasi untuk menambah kecepatan lari.

Menurutku, yang bisa memutuskan dan menimbang kapan kita harus membandingkan diri dengan orang lain adalah diri kita sendiri. Kita harus tahu kapan pembandingan-pembandingan dengan orang lain bisa membuat kita termotivasi. Kita juga harus tahu kapan harus berhenti membandingkan diri dengan orang lain jika yang terjadi adalah demotivasi. Mungkin itu tergantung situasi, tergantung mood, atau tergantung karakteristik setiap individu.

Sebenarnya aku malu membaca paragraf yang beberapa detik lalu kututup (paragraf persis di atas ini). Teorinya aku tahu, aku tahu akulah yang harusnya memilih berhenti sejenak comparing yourself to others atau harus memulai comparing yourself to others. Tapi kenyataannya aku tidak bisa memilih. Seringkali terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain dan berefek minder. Juga tak jarang tidak pernah mau atau sok tidak peduli membandingkan diri dengan orang lain dan berefek tidak growing and be better myself.
 
Untuk arah perbandingan, menengok ke atas atau bawah, ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang, teorinya satu kata: seimbang. Sayangnya satu kata sederhana itu ternyata begitu rumit. Jujur membaca kata seimbang selalu mengingatkanku untuk memandang kelangit. Bahwa keseimbangan sempurna hanya bisa dilakukan oleh Allah. Bagaimana langit yang tanpa tiang itu bisa kokoh berada di atas sana, bagaimana langit seluas itu tidak ada yang retak. Seteliti apapun kita mencari retakan kecil di langit, ujung-ujungnya kita hanya akan lelah. Karena Allah Maha Pencipta Keseimbangan.

Teori keseimbangan pun sudah pernah aku dengar, tapi lagi-lagi prakteknya mendekati nol. Bahwa kita manusia hanya bisa mengusahakan dan berdoa, kemudian Allah-lah yang akan menjadikan hidupmu seimbang. Seimbang antara ibadah-kerja, akademik-sosial, dan termasuk didalamnya 'menengok' ke atas-bawah, kanan-kiri, dan depan belakang.

***

Tetang otak yang impulsif.
Maafkan kalau tulisan ini terlalu lompat-lompat. Yah, begitulah kerja otak ini. Tiba-tiba teringat ini, ingin segera ditulis. Tiba-tiba teringat itu, ingin segera dikerjakan. Terlalu impulsif memang.
Yah, semoga saja masih bisa dipetik sarinya dari sekelumit racauan malam hari ini.
- penutup tulisan berjudul Belajar Bersyukur
Ah.. mungkin inilah alasan tulisanku suka berputar dan meloncat-loncat tak jelas. Agak sulit rasanya menahan jemari yang sudah mood menulis. Kalau kata guru-guru menulisku, itulah pentingnya editting.

Kalau ga salah aku dapet materi dari Pesantren Media Jurnalistik Salman. Tips ampuh yang intinya, kalau nulis mah nulis aja jangan diberhentikan meski idenya loncat sana sini dan alurnya berputar putar. Tapi... tulisan itu harusnya tidak langsung di publish. *Oops jadi malu, aku lebih suka publish first then edit later, or never edit.

Balik lagi, sarannya jangan langsung di publish. Tinggalkan saja sehari atau dua hari, buka lagi dan coba edit. Bagusnya kalau banyak ide dalam satu judul, di buat heading di tiap inti cerita. Namun prakteknya? Hihihi malu. Aku agak malas membuat judul heading, buat judul postingan aja suka ngasal dan ga nyambung. Jadi aku lebih suka memberi jeda dengan simbol tiga bintang "***".

Semangat menulis! Semangat menimbang lagi apakah saat ini aku harus berhenti membandingkan diri dengan orang lain atau melanjutkannya.

Zai jian! 再见!

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya