#fiksi
"Maafkanlah dirimu..." ucap seorang kakak tingkat, yang melihat adiknya menangis bombay di sudut kampus.
Masih dalam isak tangisnya sang adik mengangguk, dalam hati menjawab, 'tapi susah kak, aku sedang berantem sama diriku sendiri'.
"Aku lagi PMS, teh..." ucap sang adik. Sang kakak menepuk pundak sang adik, dan mengatakan kadang memang begitu, namanya perempuan, kalau sedang PMS, mendadak jadi cengeng dan begitu sensitif. Sang kakak, melihat ke tangan kanan dan kiri sang adik. Ada tissue basah, dan sebungkus biskuit coklat.
"Padahal udah makan coklat ya?" tanya sang kakak.
Memang katanya coklat bisa menaikkan mood, bisa mengurangi efek hormon PMS. Sang adik masih menangis, diusapnya dagu yang basah dengan tissue yang sudah basah kuyup.
"Padahal...", jawab sang adik tidak lancar disela tangis, "padahal udah minum dan makan coklat-coklat. Tapi masih gini." curhat sang adik
"Padahal aku sengaja ke tempat yang deket jalan biar ada lalu lalang orang, biar aku malu untuk ga nangis.." ujar sang adik.
Sang kakak mengusap bahu sang adik, sudah dua kali ia melewati adik tersebut, tapi ia masih menangis tergugu.
"Tapi ga bisa Teh... masih ngalir aja.", tangan kanan sang Adik mengambil tissue baru di tasnya, kemudian dalam sekejap membasahinya.
Sang kakak memeluk adik tingkatnya, membiarkan bulir-bulir air dari mata Orin membasahi kerudung hitamnya.
"Orin, mau teteh temenin?" tanya sang kakak.
Orin melepas pelukan hangat kakak tingkatnya. Menggeleng.
"Teteh bukannya harus ke lab?" tanya Orin. Sang kakak mengangguk. Orin kemudian meyakinkan kakak tingkatnya, kalau ia baik-baik aja, ia cuma sedang PMS. Mempersilahkan kakak tingkatnya melanjutkan kesibukannya. Dengan berat hati, sang kakak pergi, meninggalkan Orin, yang kemudian melanjutkan tangis tanpa ujung tersebut.
***
Orin terlelap dalam tidurnya, lelah karena hampir seharian matanya dipaksa kerja mengeluarkan air mata. Kepalanya yang pening membangunkannya di tengah malam, Orin meraih tempat minum dan menegaknya, satu, dua. Memorinya berjalan ke sore hari saat ia dipeluk hangat oleh kekhawatiran kakak yang melihat adiknya menangis.
"Maafkanlah dirimu" dua kata tersebut terngiang. Perkataan kakak tingkatnya benar, Orin memang belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Tapi daripada memaafkan diri sendiri, Orin lebih memilih bertarung dengan dirinya sendiri. Baginya, ada hal yang tidak bisa dimaafkan, maka ia memilih memeranginya, agar yang menang dan tersisa, bukan hal-hal buruk dalam dirinya. Tentu saja memaafkan juga merupakan hal yang baik, karena itu artinya, ia menerima bahwa dirinya tidak sempurna.
Orin bertanya dalam hati, "Jika kakak tersebut menjadi diriku, mana yang ia pilih? To forgive? or to fight?"
The End.
***
PS: Ga jelas ya? Wkwk. Maaf, hasil memaksakan menyelesaikan draft meski masih belum ada ide alur ceritanya. Tapi intinya dapet kan ya? Ada saatnya, kita harus memaafkan diri kita. Karena kata seorang teteh yang kuliah psikologi, 'marah pada diri sendiri tidak akan menyelesaikan masalah'. Tapi menurutku, ada kalanya kita harus berantem dengan diri, agar kebiasaan buruk, atau hal-hal buruk lain bisa kita ganti dengan hal yang lebih baik. Semoga kita bisa bijak, dan diberikan pengetahuan oleh Allah, kapan kita harus memaafkan diri sendiri, dan kapan harus bertarung dengan diri sendiri. Forgive or Fight, bukan vs, harusnya or. Ok? Atau bisa keduanya? Entahlah..
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya