#fiksi #cerpen
Bismillah.
what reason? |
"Terus?"
tanya Aster dengan mata berbinar-binar.
Zelika (Ze) menjauhkan
jemarinya dari keyboard kemudian menolehkan wajahnya ke Aster dengan mata yg memicing. Aster membalas dengan tatapan yang seolah bertanya, "Kenapa?"
Ze mengalihkan pandangannya ke layar LCD di
hadapannya, jemarinya kembali ke kesibukan awalnya, menari di atas keyboard.
"Oh,"
tiba-tiba Aster teringat sesuatu. Buru-buru ia minta maaf.
Ze dan Aster memang
berbeda, tapi uniknya, persahabatan mereka justru makin erat karena perbedaan
diantara mereka. Ze yang suka rasa coklat, dan Aster yang suka rasa strowbery. Ze yang
dingin, dan Aster yang superduper ramah.
"Jadi kalian
papasan, trus udah? Saling lewat aja? Ga ada sapaan, ga ada sekedar
menganggukkan kepala atau saling lempar senyum?"
"Hm.." jawab Ze singkat.
Aster yang mendengar
jawaban Ze langsung heboh. Aster mulai menjelaskan satu persatu imajinasinya,
tentang berada di dimensi waktu yang berbeda. Tentang waktu yang terasa somehow lebih lambat saat Ze dan Abqari berpapasan.
Seperti slow motion, seperti di film-film. Wajah Ze memang masih menatap layar,
tapi tanpa Ze sadari, jemarinya memelankan temponya, pikirannya melayang ke
beberapa jam yang lalu saat ia bertemu Abqari.
"Tapi kan ini
bukan yang pertama kali Ze," ucap Aster masih dengan nada berapi-api.
Seolah-olah ia jadi saksi insiden terhebat di tahun ini.
Aster mulai menjelaskan
satu persatu kejadian serupa tapi tak sama tentang pertemuan Ze dan Abqari. Pertemuan
yang tidak di sengaja, di tempat-tempat yang posibiliti mereka bertemu sangat
kecil.
"Ini ga mungkin
kebetulan Ze," ucap Aster berusaha meyakinkan.
Ze menelungkupkan
tangan kanannya di depan matanya, kepalanya tertunduk. Ia menyesal telah
menceritakan pertemuan mengejutkan tadi sore dengan Abqari. Ze salah, seharusnya ia
tidak pernah menceritakan tentangnya dan pertemuan-pertemuan mengejutkan dengan Abqari sejak 3 tahun yang lalu.
"Tunggu dulu,
kamu kan ga percaya sama kebetulan ya?" tanya Aster, mengingat salah satu keyakinan Ze.
Ia masih antusias
membahas kemungkinan-kemungkinan kisah romantis antara Ze dan Abqari, meski reaksi Ze
justru reaksi orang yang tidak mau lagi mendengar perkataan Aster. Ze bukan menjawab
pertanyaan, namun justru meraih headset, dan menyumpal kedua telinganya. Aster masih
tidak menyerah, ia mencoba mengulang kalimat yang pernah Ze ajarkan padanya.
Bahwa apa yang terjadi di dunia ini tidak pernah suatu kebetulan. Penciptaan
alam semesta ini bukan suatu kebetulan, ada tujuan dan makna dibalik itu.
"Termasuk
bertemunya aku dan kamu, meski kita hampir selalu beda pendapat, itu juga bukan
kebetulan," ucap Aster setelah menarik headset yang menutup telinga kanan Ze.
"Kamu sendiri
yang bilang ke aku gitu kan. You can't shallow what you've been said,"
ujar Aster kali ini dengan nada tegas, meminta respon 'kalimat' dari Ze.
Ze menghela nafas
berat.
"Ya...
Pertemuanku dengan Abqari hari ini juga bukan kebetulan, itu takdir Allah. Juga
pertemuan-pertemuan tak sengaja dan mengejutkan yang berulang beberapa waktu
yang lalu. Trus kenapa?" Respon Ze meninggikan suaranya.
Ze memang dingin, ia
selalu menjawab dengan satu kata. Ya, hm, atau tidak menjawab. Tapi ketika ia
meninggikan suaranya, apalagi dengan kalimat sepanjang itu, artinya Ze sudah
berada di titik klimaks.
Awalnya Ze cuek, cuek saja seperti saat satu dua kali tanpa sengaja Ze berpapasan dengan Abqari. Termasuk hari ini, tapi entah mengapa, penjelasan demi penjelasan Aster beberapa menit yang lalu benar. Ze memang merasa ada di dimensi waktu berbeda waktu sore tadi, tanpa sengaja berpapasan dengan Abqari. Waktu yang hanya beberapa detik itu, seolah terjadi dalam beberapa menit. Slow motion, seperti di film-film. Ze yang tadinya tidak ada rasa simpati apapun pada Abqari, malam itu otaknya dibuat bekerja keras. Sebagian dirinya menolak, mengatakan kalau itu hanya prasangkanya.
Awalnya Ze cuek, cuek saja seperti saat satu dua kali tanpa sengaja Ze berpapasan dengan Abqari. Termasuk hari ini, tapi entah mengapa, penjelasan demi penjelasan Aster beberapa menit yang lalu benar. Ze memang merasa ada di dimensi waktu berbeda waktu sore tadi, tanpa sengaja berpapasan dengan Abqari. Waktu yang hanya beberapa detik itu, seolah terjadi dalam beberapa menit. Slow motion, seperti di film-film. Ze yang tadinya tidak ada rasa simpati apapun pada Abqari, malam itu otaknya dibuat bekerja keras. Sebagian dirinya menolak, mengatakan kalau itu hanya prasangkanya.
"Em... m...
Gini Ze.. Aku.. Aku ga bermaksud gitu kok. Gini.." Aster terbata menjelaskan
argumennya. Ia berhati-hati agar Ze tidak meledak, jika Ze sampai meledak, maka
mereka akan diam-diaman selama 3 hari. Dan Aster yang cerewet nan ramah harus menghadapi perang dingin dengan Ze pasti kalah. Tiga hari adalah siksaan terberat jika harus diam-diaman dengan satu-satunya sahabatnya. Ze
yang mendengar kegagapan Aster melunakkan pandangan matanya, seolah berkata lembut
pada sohibnya untuk melanjutkan argumennya dengan tenang.
"Jadi,
pertemuan kalian sore ini bukan kebetulan kan? Karena bukan kebetulan, maka ada
yang Tuhan rencanakan untuk kalian kan? Hikmah, atau tujuan. Ada kan?"
tanya Aster lancar, namun nadanya tidak seantusias sebelumnya.
Ze mengangguk. Aster
buru-buru ingin menegaskan lagi opiniya, bahwa Ze dan Abqari mungkin memang
ditakdirkan untuk bersama. Tapi kali
ini, Aster kalah cepat.
"Tapi bukan
selalu tujuannya seperti itu," tangkas Ze.
Aster masing menganga,
kaget karena Ze yang pendiam dan dingin itu bisa mengalahkan kecepatan lidahnya
yang terkenal supercerewet dan superramah.
"Mungkin Allah
mempertemukan kami sebagai ujian satu sama lain," lanjut Ze.
Aster menggigit kuku ibu jarinya sembari memandang langit-langit kamar Ze. Ini bukan pertama kali-nya Ze menyebut tentang ujian sebagai hikmah bertemunya dua orang. Aster ingat, saat Ze menghibur dirinya yang
nangis super depresi karena dosen killer yang tega memberi nilai E padanya,
padahal ia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Aster tidak tahu, setelah ia keluar
ruangan ujian, seolah mahasiswa membalik lembar jawabnya dan menyalinnya. Saat
itu Ze memeluk Aster, mengingatkannya, untuk bersabar. Mungkin kejadian itu
adalah bentuk ujian dari Tuhan, agar Aster semakin dewasa, agar Aster berani menghadap
ke dosen killer tersebut dan menjelaskan kronologisnya. Dan ucapan Ze benar, Aster
merasakannya, kejadian itu, takdir itu, adalah ujian baginya.
"Jadi bagaimana kalian jadi ujian bagi satu sama lain? Dalam sisi apa?" tanya Aster
Ze tersenyum, melepas
headset di telinga kirinya, "Ini panjang loh penjelasannya, kamu yakin mau
dengerin?"
Aster mengangguk. Ia
selalu penasaran, mengapa Ze selalu merasa terbebani saat ada kakak tingkat yang
berusaha PDKT dengannya. Kalau Aster jadi Ze, pasti ia senang karena ada cowok yang mengerjar-ngejar dia. Aster selalu penasaran, mengapa Ze menangis diam-diam, saat
suatu hari ia dipaksa pulang membonceng seorang laki-laki yang bukan saudaranya,
karena tidak ada pilihan lain. Memangnya, semenyakitkan itu kah, ketika satu prinsip Ze terlewati karena situasi darurat? Aster penasaran, ia masih belum mengerti, bagaima bisa pertemuan Ze dan Abqari sore tadi, merupakan ujian bagi masing-masing mereka.
To be continued...
***
Baca lanjutannya :
Sebagai Ujian Satu Sama Lain (2)
Sebagai Ujian Satu Sama Lain (3)
***
Baca lanjutannya :
Sebagai Ujian Satu Sama Lain (2)
Sebagai Ujian Satu Sama Lain (3)
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya