Bismillah.
Kegagalan bagiku adalah saat sesuatu terjadi di luar keinginan kita, atau di luar prediksi kita. Misalkan kita sudah merencanakan hari ini sudah selesai menulis dan di-post di grup sebelum jam 21.00. Kemudian kejadiannya ternyata tidak sesuai rencana, hingga detik ini, tulisan belum selesai sehingga belum di-post.
Bagiku kegagalan umpama warna kelabu di langit, atau rasa pahit di makanan. Ia terkesan menyebalkan di awal, namun bisa menjadi manis di masa setelahnya. Seperti warna kelabu yang mewarnai langit, kemudian darinya hujan turun, membasahi dan menghidupkan bumi. Seperti warna pahit pada emping, awalnya memang terasa tak enak, namun ketika sering makan menjadi terasa nikmat.
Jujur, aku masih belum banyak merasakan kegagalan. Awal-awal hidupku diwarnai oleh kejutan hadiah dari Sang Maha Pengasih. Ada begitu banyak nikmat yang kukecap, baik dalam bentuk mamah, papah, kakak, adik, prestasi, kesehatan dan lain-lain. Namun seperti halnya roda yang berputar, saat ini aku sedang berada di bawah. Sekitar empat tahun kuliah, ada beberapa kegagalan yang berkali-kali membuatku hampir berputus asa. Padahal kegagalan itu mungkin bukan hal yang besar, namun aku terlalu khawatir dan minder.
Sedih tentunya, ketika menemukan diri terjatuh lagi dan lagi di lubang yang sama. Ada rasa benci pada diri, “Kok bisa sih!! Katanya taubat!! Katanya mau banggain orang tua??” Bayang-bayang putus asa selalu menghantui. Namun lagi dan lagi, seperti aku yang berkali-kali jatuh, Allah juga tidak lelah membukakan pintunya. Malam aku menangis, esok pagi Allah masih mengizinkan aku menghirup oksigen. Allah masih memberiku kesempatan untuk kembali padaNya.
Dan malam ini, aku kembali terisak, sungguh cengeng. Karena merasa gagal menjadi seorang anak yang berbakti. Bagaimana bisa disebut berbakti, kalau tidak tahu apa yang dirasakan ibu. Bagaimana berbakti? Kalau seringkali selalu dihubungi bukan menghubungi terlebih dahulu. Bagaimana mau dikatakan berbakti, kalau pertanyaan “Apa kabar Mah?” cuma di lisan dan formalitas. Bagaimana mau dikatakan berbakti, kalau tidak pernah terbangun di sepertiga malam terakhir berdoa untuk orang tua?
Dan malam ini, aku merasa gagal. Ya, karena tidak menjalankan kewajiban sesuai waktunya. Dan tulisan ini, mengapa baru kau kerjakan di penghujung hari? Ya, hari ini aku gagal menjadi anggota kompilasi yang baik.
Dan diantara semua kegagalan yang kualami, semoga hari ini pun, ia tidak menjadikan aku berputus asa atas rahmatnya. Semoga justru ini menjadi batu loncatan, untuk bersungguh-sungguh kembali padaNya. Allah.. jika engkau izinkan aku masih hidup esok pagi, izinkan aku tertatih memasuki pintu taubat. Izinkan aku belajar dari kegagalan-kegagalan dalam hidup. Izinkan aku menjadi hamba, yang selalu memperbaiki diri, memantaskan diri untuk menyicipi al firdaus, meski hina dan berlumur dosa.
Aku mencari makna kegagalan, dan tidak juga kutemukan. Sungguh, aku belum benar-benar memahami makna kegagalan. Aku hanya bisa menerka, mungkin maknanya adalah untuk menempa diri. Aku hanya bisa menebak, mungkin maknanya adalah untuk membuat kita menangis dan mengadu padaNya. Bersandar padaNya, Ash Shamad.
with no loss of enthuasiasm |
Kegagalan bagiku adalah saat sesuatu terjadi di luar keinginan kita, atau di luar prediksi kita. Misalkan kita sudah merencanakan hari ini sudah selesai menulis dan di-post di grup sebelum jam 21.00. Kemudian kejadiannya ternyata tidak sesuai rencana, hingga detik ini, tulisan belum selesai sehingga belum di-post.
Bagiku kegagalan umpama warna kelabu di langit, atau rasa pahit di makanan. Ia terkesan menyebalkan di awal, namun bisa menjadi manis di masa setelahnya. Seperti warna kelabu yang mewarnai langit, kemudian darinya hujan turun, membasahi dan menghidupkan bumi. Seperti warna pahit pada emping, awalnya memang terasa tak enak, namun ketika sering makan menjadi terasa nikmat.
Jujur, aku masih belum banyak merasakan kegagalan. Awal-awal hidupku diwarnai oleh kejutan hadiah dari Sang Maha Pengasih. Ada begitu banyak nikmat yang kukecap, baik dalam bentuk mamah, papah, kakak, adik, prestasi, kesehatan dan lain-lain. Namun seperti halnya roda yang berputar, saat ini aku sedang berada di bawah. Sekitar empat tahun kuliah, ada beberapa kegagalan yang berkali-kali membuatku hampir berputus asa. Padahal kegagalan itu mungkin bukan hal yang besar, namun aku terlalu khawatir dan minder.
Sedih tentunya, ketika menemukan diri terjatuh lagi dan lagi di lubang yang sama. Ada rasa benci pada diri, “Kok bisa sih!! Katanya taubat!! Katanya mau banggain orang tua??” Bayang-bayang putus asa selalu menghantui. Namun lagi dan lagi, seperti aku yang berkali-kali jatuh, Allah juga tidak lelah membukakan pintunya. Malam aku menangis, esok pagi Allah masih mengizinkan aku menghirup oksigen. Allah masih memberiku kesempatan untuk kembali padaNya.
Dan malam ini, aku kembali terisak, sungguh cengeng. Karena merasa gagal menjadi seorang anak yang berbakti. Bagaimana bisa disebut berbakti, kalau tidak tahu apa yang dirasakan ibu. Bagaimana berbakti? Kalau seringkali selalu dihubungi bukan menghubungi terlebih dahulu. Bagaimana mau dikatakan berbakti, kalau pertanyaan “Apa kabar Mah?” cuma di lisan dan formalitas. Bagaimana mau dikatakan berbakti, kalau tidak pernah terbangun di sepertiga malam terakhir berdoa untuk orang tua?
Dan malam ini, aku merasa gagal. Ya, karena tidak menjalankan kewajiban sesuai waktunya. Dan tulisan ini, mengapa baru kau kerjakan di penghujung hari? Ya, hari ini aku gagal menjadi anggota kompilasi yang baik.
Dan diantara semua kegagalan yang kualami, semoga hari ini pun, ia tidak menjadikan aku berputus asa atas rahmatnya. Semoga justru ini menjadi batu loncatan, untuk bersungguh-sungguh kembali padaNya. Allah.. jika engkau izinkan aku masih hidup esok pagi, izinkan aku tertatih memasuki pintu taubat. Izinkan aku belajar dari kegagalan-kegagalan dalam hidup. Izinkan aku menjadi hamba, yang selalu memperbaiki diri, memantaskan diri untuk menyicipi al firdaus, meski hina dan berlumur dosa.
Aku mencari makna kegagalan, dan tidak juga kutemukan. Sungguh, aku belum benar-benar memahami makna kegagalan. Aku hanya bisa menerka, mungkin maknanya adalah untuk menempa diri. Aku hanya bisa menebak, mungkin maknanya adalah untuk membuat kita menangis dan mengadu padaNya. Bersandar padaNya, Ash Shamad.
Bandung, 14 Maret 2015 - IK
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya