Bismillah.
Sunyi. Hening. Dan tidak ada suara yang menggetarkan gendang telinga. Seringkali sunyi adalah teman dari kata sendiri. Namun tidak selalu begitu, sunyi bahkan bisa kita rasakan ketika berada di keramaian.
Kebisingan dunia membuat telingaku mati rasa, getaran kecil tidak akan mampu menggetarkan gendang telinga yang sudah tidak elastis ini. Padahal usiaku belum terbilang tua. Namun sungguh, hentakan riuh dunia membuatku menuli. Dan saat kesunyian merayapi malam, izinkan aku mencari makna di dalamnya.
Sunyi mengajarkanku tentang diam. Bahwa sunyi jauh lebih membuat diri tenang dibanding suara sumbang yang meneriakkan kata-kata kotor. Sunyi membuatku menghargai sedenting nada indah dari Ibu, saat aku disampingnya. Sunyi membuatku menikmati suara angin yang berdesir pelan. Sunyi membuatku merenungi rintik hujan yang membawa kehidupan.
Pernahkah merasa ramai dan rusuhnya dunia justru membuat kita merasa sunyi? Saat itu, rasa rindu kepada Sang Pencipta bersemai. Ingin rasanya bertemu, bersujud, dan mengadu padaNya. Karena jiwa ini begitu sunyi dan kering, karena kesibukan dan keramaian memikirkan dunia fana.
Pernahkah keramaian dunia membuat nafas kita sesak, kemudian kita memilih sejenak menjauhinya? Berteman sunyi, memperbarui niat yang bengkok. Mengingat lagi tujuan yang ditetapkan Sang Pencipta pada diri kita. Mengingat lagi tugas kita di dunia. Mengingat lagi rayuan kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal. Mengingat lagi panas neraka yang bahan bakarnya batu dan manusia.
Izinkan aku memilih sunyi kali ini, mencoba mendengar suara hati yang sedang sakit. Izinkan aku memilih sunyi kali ini, sejenak menyerapi kalamullah tanpa gangguan notifikasi gadget. Sejenak, karena aku tidak boleh berlama-lama dalam sunyi.
Semoga lewat sedikit sunyi, aku kembali melatih telinga untuk menangkap suara lirih. Karena ada suara lirih yang mengajak untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Karena ada suara lirih yang melarang keburukan dan kekejian.
Aku mencari makna sunyi, dan aku menemukannya. Bahwa kita belajar melihat dan mendengar, bukan hanya dengan mata atau telinga. Tapi juga dengan hati.
Sunyi. Hening. Dan tidak ada suara yang menggetarkan gendang telinga. Seringkali sunyi adalah teman dari kata sendiri. Namun tidak selalu begitu, sunyi bahkan bisa kita rasakan ketika berada di keramaian.
Kebisingan dunia membuat telingaku mati rasa, getaran kecil tidak akan mampu menggetarkan gendang telinga yang sudah tidak elastis ini. Padahal usiaku belum terbilang tua. Namun sungguh, hentakan riuh dunia membuatku menuli. Dan saat kesunyian merayapi malam, izinkan aku mencari makna di dalamnya.
silence |
Pernahkah merasa ramai dan rusuhnya dunia justru membuat kita merasa sunyi? Saat itu, rasa rindu kepada Sang Pencipta bersemai. Ingin rasanya bertemu, bersujud, dan mengadu padaNya. Karena jiwa ini begitu sunyi dan kering, karena kesibukan dan keramaian memikirkan dunia fana.
Pernahkah keramaian dunia membuat nafas kita sesak, kemudian kita memilih sejenak menjauhinya? Berteman sunyi, memperbarui niat yang bengkok. Mengingat lagi tujuan yang ditetapkan Sang Pencipta pada diri kita. Mengingat lagi tugas kita di dunia. Mengingat lagi rayuan kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal. Mengingat lagi panas neraka yang bahan bakarnya batu dan manusia.
Izinkan aku memilih sunyi kali ini, mencoba mendengar suara hati yang sedang sakit. Izinkan aku memilih sunyi kali ini, sejenak menyerapi kalamullah tanpa gangguan notifikasi gadget. Sejenak, karena aku tidak boleh berlama-lama dalam sunyi.
Semoga lewat sedikit sunyi, aku kembali melatih telinga untuk menangkap suara lirih. Karena ada suara lirih yang mengajak untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Karena ada suara lirih yang melarang keburukan dan kekejian.
Aku mencari makna sunyi, dan aku menemukannya. Bahwa kita belajar melihat dan mendengar, bukan hanya dengan mata atau telinga. Tapi juga dengan hati.
Bandung, 6 Maret 2015 - IK
***
Allahua'lam
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya