#fiksi
Aku tidak mengenal diriku, karena aku tidak mengenal Tuhanku. Atau mungkin sebaliknya, aku tidak mengenal Tuhanku karena aku belum mengenal diriku. Dan aku belum mengenali diriku karena aku tidak mengenal hatiku.
Femi memandangi catatannya, dari sebuah forum ia mendapatkan kesimpulan itu. Ia terjebak sebenarnya, dan tanpa sengaja ikut menghadiri forum tersebut.
***
Nama bangunan itu Partum Space, tempat belajar, berkolaborasi dan berkreasi. Di lantai satu terdapat banyak meja dan kursi tempat pengunjung bisa belajar atau berdiskusi, koneksi internet lancar dan banyak stop kontak untuk charge laptop. Di lantai dua ada tiga ruangan kecil dan satu ruangan besar. Jika di lantai satu fasilitasnya gratis, ruangan di lantai dua disewakan untuk seminar, forum atau meeting.
Femi merupakan salah satu pengelola Partum Space. Pagi jam 6 ia sudah bersiap-siap ke Partum Space. Hari itu ia bertugas untuk mengecek fasilitas ruangan di lantai dua, serta ada rapat evaluasi bulanan. Malam kemarin Femi hanya tidur beberapa jam. Selesai rapat sekitar jam setengah 8, kelopak matanya memberat. Ia memilih tetap duduk di pojokan ruangan Hiems, dan menundukkan kepala di atas tas ranselnya, di kursi bermeja. Pagi ini seharusnya ruangan Hiems kosong, baru diisi jam 11an.
Suara ibu-ibu riuh memasuki ruangan, Femi terbangun dari tidurnya. Matanya masih berat, ia melirik ke jam tangan di tangan kirinya. 8.15. Sebenarnya ia hendak beranjak pergi, tapi seorang ibu mengenalnya, dan membuat ia terjebak di sana. Saat forum di mulai, ia akhirnya merelakan ketidaksengajaan itu dan ikut fokus mendengarkan materi.
***
"Mba Femi, bulan depan kami bisa pakai ruangan di sini lagi kan?" ucap Bu Tama. Femi hanya tersenyum dan mengangguk. Ia mengenal Bu Tama satu pekan yang lalu saat beliau hendak menyewa ruangan di Partum Space. Harusnya hari itu, mereka menggunakan ruangan Fons. Namun ruangan itu terisi oleh kegiatan lain, hingga akhirnya Bu Tama memberanikan diri mengecek barangkali ada ruangan yang kosong. Bu Tama begitu gembira saat menemukanku di ruangan Heims, dan mulai curhat bahwa ia takut salah memberi jadwal, atau ada kesalahan. Saat itu sebenarnya ia kesal, ia masih mengantuk namun harus memasang wajah ramah. Usut punya usut, ternyata ini kesalahan rekan kerjaku, yang membolehkan penyewa ruangan dadakan, tanpa memberitahu ruangan mana yang bisa dipakai.
Tapi ketidaksengajaan itu mungkin memang di desain Sang Penulis Rencana, untuk Femi. Agar ia bisa hadir dan belajar untuk mengenal hatinya. Sudah satu tahun lebih Femi merasa kehilangan jati diri, ia seolah tidak mengenali lagi dirinya. Kesehariannya hanya menjalani rutinitas seadanya. Pernah suatu sore, hujan, mungkin hari Jumat ia berdoa dalam hati, agar Sang Maha Pencipta membantunya menemukan kembali dirinya. Agar hidupnya, tidak lagi berwarna pucat, dan dingin. Agar ia bisa merasakan lagi rasanya bersemangat dalam menjalani hidup.
Dan keterjebakan hari itu, mungkin jawaban dariNya. Seolah itu sebuah petunjuk agar Femi memulai perkenalan dengan dirinya lagi. Bahwa ia, harus mengenal hatinya, agar bisa mengenal diri, dan juga mengenal Tuhannya.
The End.
***
Nama bangunan itu Partum Space, tempat belajar, berkolaborasi dan berkreasi. Di lantai satu terdapat banyak meja dan kursi tempat pengunjung bisa belajar atau berdiskusi, koneksi internet lancar dan banyak stop kontak untuk charge laptop. Di lantai dua ada tiga ruangan kecil dan satu ruangan besar. Jika di lantai satu fasilitasnya gratis, ruangan di lantai dua disewakan untuk seminar, forum atau meeting.
Femi merupakan salah satu pengelola Partum Space. Pagi jam 6 ia sudah bersiap-siap ke Partum Space. Hari itu ia bertugas untuk mengecek fasilitas ruangan di lantai dua, serta ada rapat evaluasi bulanan. Malam kemarin Femi hanya tidur beberapa jam. Selesai rapat sekitar jam setengah 8, kelopak matanya memberat. Ia memilih tetap duduk di pojokan ruangan Hiems, dan menundukkan kepala di atas tas ranselnya, di kursi bermeja. Pagi ini seharusnya ruangan Hiems kosong, baru diisi jam 11an.
Suara ibu-ibu riuh memasuki ruangan, Femi terbangun dari tidurnya. Matanya masih berat, ia melirik ke jam tangan di tangan kirinya. 8.15. Sebenarnya ia hendak beranjak pergi, tapi seorang ibu mengenalnya, dan membuat ia terjebak di sana. Saat forum di mulai, ia akhirnya merelakan ketidaksengajaan itu dan ikut fokus mendengarkan materi.
***
"Mba Femi, bulan depan kami bisa pakai ruangan di sini lagi kan?" ucap Bu Tama. Femi hanya tersenyum dan mengangguk. Ia mengenal Bu Tama satu pekan yang lalu saat beliau hendak menyewa ruangan di Partum Space. Harusnya hari itu, mereka menggunakan ruangan Fons. Namun ruangan itu terisi oleh kegiatan lain, hingga akhirnya Bu Tama memberanikan diri mengecek barangkali ada ruangan yang kosong. Bu Tama begitu gembira saat menemukanku di ruangan Heims, dan mulai curhat bahwa ia takut salah memberi jadwal, atau ada kesalahan. Saat itu sebenarnya ia kesal, ia masih mengantuk namun harus memasang wajah ramah. Usut punya usut, ternyata ini kesalahan rekan kerjaku, yang membolehkan penyewa ruangan dadakan, tanpa memberitahu ruangan mana yang bisa dipakai.
Tapi ketidaksengajaan itu mungkin memang di desain Sang Penulis Rencana, untuk Femi. Agar ia bisa hadir dan belajar untuk mengenal hatinya. Sudah satu tahun lebih Femi merasa kehilangan jati diri, ia seolah tidak mengenali lagi dirinya. Kesehariannya hanya menjalani rutinitas seadanya. Pernah suatu sore, hujan, mungkin hari Jumat ia berdoa dalam hati, agar Sang Maha Pencipta membantunya menemukan kembali dirinya. Agar hidupnya, tidak lagi berwarna pucat, dan dingin. Agar ia bisa merasakan lagi rasanya bersemangat dalam menjalani hidup.
Dan keterjebakan hari itu, mungkin jawaban dariNya. Seolah itu sebuah petunjuk agar Femi memulai perkenalan dengan dirinya lagi. Bahwa ia, harus mengenal hatinya, agar bisa mengenal diri, dan juga mengenal Tuhannya.
The End.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya