Follow Me

Friday, October 7, 2016

Tanya di Ujung Jarak (2)

#fiksi #cerpen

Bismillah.

Baca Tanya di Ujung Jarak yang pertama di sini.

***

Nila mencerna lagi pertanyaan Jingga tentang keadilan Tuhan. Nila pernah mendengar penjelasan jawaban pertanyaan itu, tapi contoh kasusnya berbeda. Contoh kasusnya tentang dua penjahat, yang satu membunuh satu orang, yang lain membunuh satu juta orang. Kasus penjahat itu selesai dengan jawaban keadilan di akhirat. Tapi tentang perempuan yang dilahirkan cantik, dan perempuan yang dilahirkan biasa saja atau justru buruk muka, Nila sendiri belum pernah mendengar jawabannya.

Jingga, Nila, dan pertanyaan di ujung jarak

N: Manusia lahir dalam bentuk yang berbeda-beda, bahkan ga ada manusia dengan sidik jari yang sama. Lalu ada yang cantik ada yang ga, dimana letak adilnya? Lalu ada yang bisa melihat ada yang buta, dimana letak adilnya?

N: Kalau kita hanya melihat apa yang ada di dunia. Memang keadilan ga ada.Tapi hebatnya apa-apa yang tidak adil di mata manusia di sini akan dilunasi keadilan di hari akhir nanti. Gini, kenapa di dunia ga ada keadilan. Ada orang A membunuh 1 orang, hukumannya apa? Penjara seumur hidup? Atau hukum mati? Ada orang B membunuh 1 juta orang, hukumannya apa? Penjara seumur hidup? Atau hukum mati? Gimana bisa membunuh 1 orang hukumannya sama dengan membunuh 1 juta orang. Apa itu adil?


N: (mengetik lagi dan menghapus pendapat lain, nila tahu pendapatnya sangat lemah. Di ujung sana ia melihat Jingga sedang proses mengetik juga. 'Jangan disanggah dulu, aku belum selesai' batin Nila)

N: Kalau ngomongin tentang cantik ga cantik keadilan di dunia bisa dilihat dari ujiannya. Orang cantik ujian dia untuk jaga hijab lebih berat. Kenapa? Aku cantik, badanku bagus, rambutku berkilau kenapa harus ditutupi? Padahal setiap aurat yang terbuka jadi dosa.

N: Trus kalau cantik pake kerudung. Ujiannya masih sama. Percaya apa ga, temenku ada yang pake kerudung, cantik, putih, menarik lah di pandang mata. Ujiannya hijab juga, meski pake kerudung, karena dia cantik, banyak dimodusin ikhwan, sampe ngobrol malem-malem, saling telpon. Padahal setiap tubuh kita ada zinanya, kan? Mata untuk memandang, tangan untuk menyentuh, mulut berbicara..

N: (Nila merasa argumennya masih belum. 'Apa aku harus kasih contoh kasus yang kehilangan salah satu fungsi indra-nya?' tanyanya dalam hati, kemudian melanjutkan mengetik dengan cepat, agar Jingga tidak keburu menyanggah pendapatnya yang rapuh.)

N: Begitu juga orang buta sama yang bisa melihat. Ketika Allah matikan salah satu indra kita. Allah tajamkan indra yang lain. Yang buta, indra penciuman dan perabanya lebih sensitif. Kita bisa aja protes kalau kita buta, tuli, bisu ngerasa ga dikasih kesempatan yang sama dalam belajar seperti mereka yang bisa melihat, mendengar, dan berbicara. Kita mungin lupa sama kisah Helen Keler. Bahkan non muslim yang buta bisu tuli bisa jadi profesor.

N: Allah tahu manusia fitrahnya bisa melakukan banyak hal meski dengan kekurangan atau batasan yang diciptakan Allah. Sampai sini ada yang ga setuju atau mau ditanyain?

Nila kehabisan ide, dan ia sudah terlalu banyak bicara dengan urutan yang semrawut. Nila kini cuma bisa berharap, Jingga bisa sedikit menerima argumennya atas pertanyaan keadilan yang ditanyakan. Meski jujur dalam hati Nila, ia tahu, pasti Jingga tidak akan menerima, pasti akan ada pertanyaan dan sanggahan lain. Begitulah Jingga yang Nila kenal, Jingga adalah teman SMA yang kritis, mereka bertemu untuk jadi satu tim di pelatihan debat bahasa inggris. Tapi meski satu tim, Jingga selalu menempatkan diri di posisi netral, sehingga seringkali argumen Nila dan Jingga saling beradu. Jingga adalah gadis yang cerdas, pertanyaannya selalu membuat Nila memaksa otaknya bekerja lebih keras.

***

Adzan isya berkumandang di bumi tempat Nila berpijak, pertanyaan dan sanggahan Jingga sementara ia tunda. Nila butuh waktu untuk menjernihkan lagi pikirannya. Pelan Nila menuju ke tempat wudhu di masjid dekat kantor ia bekerja. Nila sebenarnya malu melangkah masuk masjid, karena meski ia sudah menutup auratnya, Nila masih sering meninggalkan sholat, terutama sholat Isya dan Shubuh. Pertanyaan dari Jingga mungkin adalah pertanyaan yang bisa ia jawab lewat logika dan ilmu yang pernah masuk ke otaknya. Tapi ilmu tidak selalu sebanding dengan amalan seseorang kan? Nila tahu meninggalkan sholat adalah dosa besar, bahkan bisa jadi tanda bahwa ia meninggalkan agama Islam.

Permasalahan Nila dan Jingga, kedua teman dengan nama warna itu mungkin terlihat sangat berbeda. Mereka mungkin jauh dibentang jarak, namun Allah ingin mereka bertemu diantara jarak lewat pertanyaan. Karena sebenarnya mereka sama-sama mengalami krisis iman, yang satu mempertanyakan kebenaran eksistensi Tuhan dan kebenaran agamanya, sedangkan yang lain tahu ilmunya namun masih sering melanggar aturan Tuhannya.

"Assalamu'alaikum warahmatullah..."
"Assalamu'alaikum warahmatullah..."

Dua salam terucap dari imam masjid, diikuti salam setiap jamaah di sana. Dua shaf jamaah laki-laki, dan satu shaf pendek di balik tirah ruangan sholat wanita. Di sana, masih mengenakan mukena parasut berwarna ungu, seorang gadis ragu apakah ia harus sholat sunnah atau meraih hpnya. Gadis itu, Nila, akhirnya memilih meraih gadgetnya, merasa munafik, jika ia memilih sholat sunnah, padahal jika tanpa tanya di ujung jarak, ia mungkin sudah di kamarnya, dan tidur tanpa melaksanakan sholat Isya. Nila membaca lagi pesan yang dikirim Jingga, sahabat tiga tahun duduk di kelas sama, di masa SMA yang terakhir ia temui empat tahun yang lalu.

J: Kalau masalah hukuman yang dibuat manusia di dunia, aku setuju bahwa memang tidak ada keadilan di dunia ini karena hukuman dari Allah lah yang adil. Kalau masalah bahwa adil itu bukan berarti di kasih sesuatu dengan jumlah yang sama untuk orang yang kapasitas-nya beda-beda.

J: Yang mungkin sekarang Aku masih sayangkan adalah apa susahnya ujian bagi orang cantik, tinggal nolak-nolak doang buat yang ga suka dan tinggal milih buat yang dia suka.

J: Mungkin ini curcol ya. Aku suka sama teman kuliah ku udah lama, ada lagi temanku yang cantik banget, dan cowok itu suka sama dia karena dia cantik padahal dia biasa-biasa aja. Aku protes dong, cewe itu aja ga baik perilakunya, engga agamis atau bla bla bla, enggak lebih pinter juga dari aku, bahkan dia juga pacaran sebelumnya.

J: Mana keadilan buat aku, aku ga bilang aku sempurna, tapi aku berusaha menuntut ilmu, aku menjalani hidupku dengan baik, aku enggak pacaran, tapi aku kalah semata-mata karena dia lebih cantik. dan itu ga terjadi dua atau tiga kali, teman-teman cowok satu universitasku yang lain juga udah gila semua kalau liat cewek cantik. Cewek yang terlahir cantik ibarat udah menang lotre di dunia ini. Mana keadilan buat aku?

J: Apa tujuan Allah menciptakan cewek enggak cantik? Bukankah kalau dia cantik dia akan jadi lebih bersyukur dan dekat kepada Allah? Setidaknya, aku kalau diberi nikmat akan lebih bersyukur. Mungkin keadaannya ga bisa diubah, tapi aku butuh alasan untuk tetap percaya Allah sayang sama aku. Aku butuh keyakinan bahwa Allah nggak menganak tirikan aku, aku butuh tahu kalau aku disayang juga oleh Allah. Aku butuh tahu kalau Allah enggak mengabaikan Aku.

to be continued...

***

PS: Maaf panjang, masih nunggu ada yang yang komen untuk penyelesaian kisah ini. Apa yang harus dijawab Nila atas pertanyaan Jingga? Bagaimana cara Nila meyakinkah Jingga, bahwa Allah sayang sama Jingga, sama seperti Allah sayang sama cewek-cewek cantik yang Jingga ceritakan? Bagaimana cara Nila menenangkan Jingga, bahwa Allah tidak mengabaikan Jingga? Jawab di komen ya^^ Kemungkinan dilanjutnya 2 atau 3 hari ke depan. Idenya udah ada, tapi kalau ditulis di sini bisa kepanjangan. Hehe. Maaf kalau banyak typo.

***

baca bagian terakhir di: Tanya di Ujung Jarak (3) - End

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya