Bismillah.
Tali penghubung meski Jingga dan Nila masih berjarak; Tanya di Ujung Jarak Bagian Terakhir |
Biar nyambung baca dari awal ya:
- Tanya di Ujung Jarak
- Tanya di Ujung Jarak (2)
***
Jingga memandangi thread yang sama di aplikasi messaging hpnya. Sudah hampir satu jam, tapi balasan dari Nila belum juga datang. Sejujurnya Jingga paling tidak suka kebiasaan buruk Nila yang satu ini, Nila selalu susah dihubungin, respon yang lama, bahkan sering kali tanpa respon. Seberkas pikiran buruk melintas di kepala Jingga, 'apakah percakapan kami akan berhenti di sini?', seperti empat tahun yang lalu?
Flashback. Sudah jam 10 malam tapi karena satu dua hal Jingga baru hendak pulang ke rumah. Jingga masih mengenakan baju putih-abu-abunya, ia mengirim sms ke Nila, yang rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah mereka. Jingga meminta izin pada Nila kalau boleh menginap satu malam saja, besok pagi, ahad jam 9 baru pulang. Nila membalas katanya bisa, lalu Jingga bertanya alamat rumah Nila, bukan tidak tahu, hanya ingin memastikan. Tapi lima belas menit berlalu tanpa jawaban, membuat Jingga akhirnya memilih menelpon taksi dan membayar harga mahal untuk perjalanan satu jam ke rumahnya.
Ya, itulah titik saat Jingga dan Nila mulai memperlebar jarak diantara mereka. Mereka meski masih duduk sebelahan, tidak pernah lagi mengobrol, seperti kedua orang asing. Saat itu Jingga jujur marah pada Nila, berharap Nila mau memulai dulu menjelaskan padanya, tapi hingga mereka terpisah pulau karena Jingga kuliah di Ibukota, penjelasan itu tidak pernah datang. Dan saat ini Jingga gelisah menunggu jawaban Nila, ia menghela nafas, kemudian menutup thread dan aplikasinya, menutup mata berusaha tidur.
***
N: Maaf baru balas, hape tadi lowbatt dan mati. Baru sampai rumah dan baru bisa nge-charge. Peace V*emoticon tangan menunjukkan bilangan angka dua.
J: (segera membuka aplikasi saat ada notif pesan masuk, ia tersenyum sendiri, jingga tahu sebenarnya ia tidak pernah membenci nila cuma karena kebiasaan buruk menunda membalas/jarang merespon pesannya)
N: Aku kalo jadi kamu juga sebel sih, ngga. Hehe. Hm.. tapi mungkin emang bukan jodoh kita. Mungkin ada cowok yang lebih shalih dan lebih ganteng yang menanti dipertemukan oleh Allah dengan kita. Ga menjawab ya? Hhhh... bingung.
J: (masih menyimak, melihat tanda kalau Nila sedang mengetik. Pasti akan panjang jawabannya, seperti yang sebelumnya.)
N: Kalau tentang Allah menciptakan cewek yang ga cantik aku juga kurang tahu sebenernya alasannya kenapa. Tapi memang Allah ngasih ujian ada dua jenis, hal yang kita suka dan yang ga ita suka.
N: Aku pribadi sih percaya kalau setiap cewek itu cantik. Tapi cantiknya ga mesti standar manusia (putih, hidung mancung, dll). Percaya ga percaya setiap cewek itu menarik mata cowo. Hm... gimana ya jelasinnya
J: (tersenyum, Nila masih sama, kalau jelasin ga malu untuk bertanya pada sendiri, gimana jelasinnya. padahal seharusnya pertanyaan itu cukup untuk dia, ga perlu ditunjukkan ke lawan debat.)
N: Gini loh misal pernah liat ga pasangan suami istri yang salah satu cantik/ganteng yang lain jelek. Itu kan sebenernya standar manusia aja kan? Bisa jadi menurut suaminya, istri yang kata banyak orang jelek, ternyata menurut suaminya cantik, entah dalam hal ucapannya maupun cara berpikirnya.
N: Orang menikah/cari pasangan emang banyak motifnya sih. Ada yang cari kecantikan, ada yang berdasarkan harta, keturunan. Padahal kan cantik itu ga awet kan, Jingga? Cuma tahan sampai umur kita 40 tahun mungkin. Udah tua dikit, manusia, baik yang mudanya cantik atau jelek, ujung-ujungnya keriput, kulitnya ga kenceng lagi, ga cantik kan?
J: (tanpa sadar mengangguk pelan)
N: Jingga harus PD dong. Jingga kan ga tahu, barangkali ada cowok yang diam-diam suka Jingga karena hal selain kecantikan. Entah itu karena pendidikan Jingga atau agama Jingga. Bahkan aku yang sampai sekarang belum kuliah, belum lulus S1 aja, aku PD, kalau ada yang suka meski pendidikan terakhirku SMA. PD kalau ada yang suka stalking medsos aku.
N: Aku ga ada apa-apanya loh dibanding Jingga. Jujur malu. Pengen sembunyi aja kalau ketemu temen-temen SMA angkatan kita. Aku banyak banget kekurangan yang aku coba tutupi dengan memutus komunikasi dan menjauh dari peredaran. Aku ga bisa kuliah langsung setelah lulus karena ga ada dana. Satu tahun kerja untuk ngumpulin uang, daftar Universitas, keterima, tapi qadarullah Ayah dipanggil Allah, akhirnya ga jadi masuk karena harus jadi tulang punggung keluarga dan nyekolahin tiga adikku yang masih kecil-kecil. *jadi curcol
N: Makanya waktu itu aku ga respon sms Jingga, aku malu ternyata rumahku berantakan banget, dan ga pantes untuk dikunjungi Jingga yang termasuk kalangan menengah ke atas, kamu mungkin tetep menjauh dariku, karena merasa jijik ke rumahku.
N: Masalah tiap orang uniknya emang beda. Jingga mungkin dibuat minder karena ga cantik. Kalau aku dibuat minder karena cuma lulusan SMA, bahkan mungkin ga punya kesempatan buat S1, na'udzubillah. TT
J: (memori Jingga berkeliaran, tentang bagaimana ia dan Nila pertama kali bertemu, makin dekat, menjadi sahabat baik, namun di akhir SMA, mereka mulai menjauh dan berjarak. Jingga malu karena mengaku sahabat namun tidak tahu banyak hal tentang Nila.)
N: Jingga masih ngerasa Allah ga adil? Allah adil, meski ga ngasih semua orang ujian yang sama. Jingga ga tahu kan, cewek cantik yang dipilih temen se-univ Jingga punya masalah apa? Bisa jadi dia juga punya masalah yang ga jingga tahu.
J: Alhamdulillah ya, Nila, kita bisa komunikasi lagi. Aku ngerasa kehilangan teman buat aku diskusi. Dan aku ternyata engga peka juga bahwa teman-temanku juga mungkin punya masalah lain dalam hidupnya. Maafin aku ga perhatian ya *hug.
J: Hm.. sekarang udah sih Nila. Karena nyatanya kecantikan ga abadi, dan realita tidak selalu berada di pihak yang cantik.
N: Aku juga salah, begitu tertutup. TT *peluk juga. Peluk jarak jauh.
***
Malam itu, sebuah tanya di ujung jarak memperkuat lagi silaturahim yang sempat terputus. Malam itu, sebuah tanya di ujung jarak membuat kedua sahabat berpikir lagi tentang Allah yang Maha Adil. Sungguh skenario Allah indah, mereka berdua, Jingga dan Nila, mungkin memiliki masalah berbeda, alasan berbeda yang membuat mereka berjarak jauh, dan menjauh dari Allah. Tapi lewat pertanyaan di ujung jarak tadi, mereka seolah diingatkan pada akhir surat yang sudah mereka hafal sejak kecil.
Ihdinash shirathal mustaqim | shirathalladzina an'amta 'alaihim ghoiril magdubi 'alaihim waladhollin
Jingga yang tidak ingin menjadi orang yang sesat, yang tidak tahu kemudian salah mengambil langkah. Dan Nila yang tidak ingin menjadi orang yang dimurkai, yang tahu ilmunya, namun justru mengabaikan ilmu tersebut. Mereka sama-sama mendamba, agar Allah tunjukkan dan bimbing untuk berjalan menaik, di jalan yang lurus menuju pada Tuhan mereka, Tuhan Yang Maha Adil, Allah subhanahu wata'ala.
The End.
***
Tulisan di atas fiksi, jika ada kesamaan nama, tempat, dll.. *apa ya terusannya? Hehe. Ya gitu deh, intinya intinya cuma ingin menekankan ini fiksi.
Maaf kalau ada salah ketik atau kalimat yang ambigu, maklum ditulis mendadak tanpa proses editing apalagi proof reading. Maaf juga karena sudut pandang cerpen ini campur-campur, niatnya pake sudut pandang ke 3, tapi di bagian pertama dan kedua condong ke Nila, tahu apa yang dipikirkan nila, trus di bagian terakhir biar ga bosen pindah condong ke Jingga. Setahuku sih ini masih bisa disebut POV orang ketiga serba tahu. Hihi bener ga ya? Kayanya materi ini aku dapat dari SMP, atau SMA? Atau dari buku? wkwk ga jelas.
Semoga bisa bermanfaat, utamanya untuk diri, kalau ada orang lain yang ambil manfaat dari kisah ini, sesungguhnya segala puji hanya milik Allah.
Allahua'lam.
No comments:
Post a Comment
ditunggu komentarnya