Follow Me

Friday, December 9, 2016

Namu, Sol, dan Ungkapan Hati Kecil Mereka

#fiksi

Bismillah.

sisters, they have a different beauty, buat they're all beautiful (kawaii, kirei)

"Besok Namu setor sampai mana? Tiga surat ini?" tanya seorang kakak, yang tiap pekan menerima setoran hafalan Namu. Kakak itu lalu balik bertanya ke sosok di sebelah Namu, adik namu, yang bernama Sol.

"Sol dari mana? Juz 1 semua? Ujian apa setor?", tanya Meilinda dengan nada khasnya.

"Setengah juz 1 aja deh, setor ulang", jawab Sol.

Kak Meilinda kemudian menjelaskan, kalau pekan depan tidak bisa hadir, jadi kemungkinan Namu dan Sol harus saling menyimak hafalan mereka, bergantian.

"Setengah juz 1, itu sampai ayat berapa Kak?" tanya Namu

Kak Meilinda dan Sol lalu saling berpandangan, mencoba menjelaskan, namun tidak bisa ditangkap oleh Namu yang memang belum hafal juz 1. Mereka menyebut posisi, setelah ayat X, diakhiri dengan ayat Y, dll.

"Masih ga menjawab ya?" tanya Kak Meilinda. Namu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ya, dia tidak mengerti jawaban-jawaban abstrak itu.

"Yaudah sih Mba, lihat pekan depan aja", jawab Sol, adik yang berjarak 13 bulan kelahirannya dari Namu.

***
Malam sudah larut, Namu masih belum terpejam matanya. Ia salah, karena mengerjakan tugas dadakan dan baru selesai jam 2. Apa aku begadang aja? Ngafal? Murajaah? Membenarkan ayat-ayat yang sering salah dan tertukar di juz 30? Namu menggapai sebuah mushaf hijau di rakbukunya. Pelan, ia membuka lembaran sisi kiri pertama. Ia menghela nafas pelan, teringat ketidaknyambungan ia, dengan Sol dan Kak Meilinda. Mereka... dengan hafalan yang... hampir selesai, sudah pernah setoran hafalan baru 30 juz. Katanya sih masih samar, tapi tetap saja.. jika dibandingkan memori hafalan surat Namu, Namu kalah jauh dari adiknya Sol.

Dipandanginya halaman surat At Takwir.. pelan, ia membacanya, mencoba fokus, meski sebagian dirinya merasa begitu hina, begitu minder. Bacaan at Takwir yang tidak nyambung dengan apa yang dipikirkan Namu, tiba-tiba memunculkan selapis kaca. Namu kemudian tersungkur di atas sajadah, memohon ampun pada Allah, karena sudah berumur segini, ia masih terbata untuk menghafal Alquran. Ia lebih memilih musik, ketimbang berakrab dengan lantunan ayat suci.

'Ya Allah.. Engkau tahu betapa hina dan lemah hamba... maka istiqomahkan hamba dalam meniti jalan mendekat pada-Mu. Jujur hamba minder, kakak mana yang tidak minder, jika adik yang selisih satu tahun, memiliki hafalan jauh lebih banyak. Padahal secara akademik, hamba juga ga jauh lebih bagus dari sang adik.'

'Jangan jadikan rasa minder ini, membuatku mundur.. jangan jadikan seperti itu. Karena Aku tahu, Engkau tidak membandingkan hamba-Mu, Engkau melihat mereka satu persatu, yang belum bertaubat, Engkau tunggu untuk bertaubat, yang masih terbata membaca Quran, Engkau berikan pahala dua kali lipat. Maka jangan kau jadikan perasaan negatif ini, penghalangku berlari mendekat padaMu.'

Namu kemudian bangkit dari sujudnya, menengadahkan tangan, masih dengan wajah basah. Membaca beberapa doa yang ada di Quran, kemudian menutupnya dengan aamiin, tanpa mengusapkan tangannya ke wajah.

***

Disebelah kamar, Sol terbangun, Sol selalu terbangun saat mendengar isak sunyi tangis kakaknya, Namu. Selalu begitu, jauh sebelum Sol dan Namu memiliki kamar masing-masing. Dinding yang membatasi kamar mereka, terlalu tipis bagi Sol, yang sudah peka dengan isak kakakknya, Mba Namu.

Sol bangun, tidak bangkit dari tempat tidur, takut kakaknya Namu sadar, ia bangun, apalagi kasurnya sering berdecit jika Sol turun. Sol tahu, ada banyak kelebihan kakaknya dibanding dirinya. Kekhusyuan, rasa takut kakakknya selalu lebih tinggi dibanding Sol. Sol sama seperti manusia kebanyakan, yang merasa cukup, dengan amalan yang sudah 'terkesan' wah di mata manusia biasa. Padahal Sol tahu... yang Allah lihat itu, bukan jumlah hafalan, bukan jumlah riwayat hadits. Yang Allah lihat itu ketakwaan, sesuatu gaib yang tidak bisa diukur dengan mata manusia.

Maka Sol berdoa dalam hati, semoga ia dan kakaknya, selalu mengingatkan, meski tidak pernah lewat lisan. Semoga ia dan kakakknya selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Semoga tidak ada iri hati yang membuat mereka saling membenci. Semoga hanya motivasi, dan motivasi lagi. Agar kelak, bertemu lagi di Jannah-Nya sebagai kakak adik.

The End.

***

PS: kesamaan setting, latar, cerita, nama dll tidak sengaja. Hehe. Ini fiksi murni, hehe. Semoga bisa bermanfaat, meski sethithik. See you later, or sooner^^ Allahua'lam.

PPS: Maaf judulnya, bingung, ga ada yang sreg. Jadi mungkin ga terlalu memikat hehe. Masih harus belajar bikin judul yg ciamik ehehe. Ada yang punya ide? Komen ya.. nanti bisa aku ganti, kl bagus. Tapi ga ada royalti sih, hehe.

PPPS: Ga jelas, ditambahin lagi lah. Hehe. Special thanks, to my sister. Citra Puspita Kawaii, kawaii-nya untukmu, dari adikmu Isabella Kirei. Terimakasih sudah menjadi kakak yang inspiratif, maaf belum bisa jadi adik yang baik, masih cengeng, masih manja, masih anak kecil banget hehe. Love you^^

No comments:

Post a Comment

ditunggu komentarnya